Teruntuk peristiwa yang membawaku pada titik ini. Terimakasih. Luka paling serius darimu akan kujadikan obat paling mujarab sepanjang hidupku.
Jika ingin, bisa saja kali ini Reina langsung mempercepat langkahnya dan menyambar kalung yang kini melingkar di leher Angkasa. Merampas benda itu dan memastikan jika dugaannya tentang kalung itu benar. Reina takkan salah ingat, kalung itu sama dengan kalung milik Angga. Kalung pasangan yang di dalamnya tertera nama mereka. Jika pada kalung milik Reina terdapat nama Angga, maka nama yang tertera pada milik Angga adalah nama Reina.
“Kalung itu? Lo bisa jelasin?” Reina menunjuk kalung yang Angkasa kenakan. Berjalan lebih dekat untuk melihat lebih jelas. Beberapa kali Reina mengerjap agar matanya tetap fokus.
Ragu, Angkasa melirik Elang sekilas. Sahabatnya itu menatapnya dengan wajah datar tapi dari pancaran matanya, Angkasa bisa mengetahui jika ia tak berbicara jujur sekarang, maka Elang takkan segan-segan membeberkannya sendiri.
“Dugaan lo benar. Ini memang kalung punya Awan,” tukas Angkasa.
Lelaki itu melangkah maju, mempersingkat jarak antara dirinya dan Reina. “Gue rasa udah saatnya lo tahu tentang semua yang terjadi. Tentang kita.”
Reina mengerutkan kening. Bingung dengan rangkaian kalimat terakhir yang Angkasa ungkapkan. Kita? Reina dan Angga maksudnya?
Angkasa kini tepat berdiri di hadapan Reina. Kedekatan keduanya mengundang beberapa pasang mata lain yang memang berada di antara mereka. Tanpa ragu, Angkasa menarik tangan Reina, menoleh pada Elang sebentar untuk meminta izin membawa kekasihnya. Elang yang mengerti akan situasi hanya bisa menjawab dengan anggukan ringan.
“Gue bakalan cerita semuanya, tapi gak di sini. Bisa kita bicara berdua aja?”
Tak ada lagi hal yang bisa Reina lakukan selain menerima ajakan Angkasa. Jadi, tanpa ragu Reina mengikuti langkah kaki Angkasa menuntun dirinya dengan tangan yang masih digenggaman Angkasa. Dua orang itu kini menaiki tangga dan berbelok ke kamar tempat Elang dan Reina bercerita tentang masa lalu mereka.
Pintu kamar tertutup. Tanpa di kunci, namun debar di dada Angkasa menggila karena sebentar lagi kebenaran yang selama ini berusaha ia tutupi akan terbuka. Lelaki itu sama sekali tak siap. Namun, untuk menunggu ia sudah tak lagi memiliki waktu untuk memperbaiki segalanya, bahkan untuk menjadi penyembuh luka bagi Reina.
“Maaf.”
Satu kata permulaan yang cukup berat untuk disuarakan. Angkasa menarik napas panjang. Mencoba mengulur waktu selama mungkin, tapi tatapan menuntut penjelasan dari Reina membuatnya semakin diterpa rasa takut.
“Angga itu gue,” aku Angkasa.
Wajah Reina seketika merah padam. Gadis yang sedari tadi berusaha diam untuk mendengar seluruh penjelasan dari Angkasa itu maju selangkah. Berdiri di hadapan Angkasa yang menunduk.
Plak!
Dan, satu tamparan dari Reina membuat Angkasa meluruskan pandangan. Dilihatnya kini mata Reina sudah memerah dan berlinang air mata. Gadis itu dikusai emosi. Tanpa pikir panjang Reina kembali melangkah maju dan memukul berkali-kali dada Angkasa. Setidaknya, bukan dirinya sendiri yang merasa sesak, Angkasa juga.
“Beberapa hari yang lalu, lo bilang Angga udah mati. Sekarang lo ngaku Angga itu lo?” cicit Reina. Air matanya sudah meluruh jatuh membasahi pipi. “Lo pikir gue mainan?” Reina menyaka kasar pipinya yang basah, kemudian kembali menatap nyalang pada Angkasa yang kembali merunduk.
“Gue gak bercanda Rein. Sebagian besar kenangan yang lo punya sama Angga itu adalah kenangan lo sama gue!”
Mana mungkin Reina percaya begitu saja. Setelah beberapa hari yang lalu Angkasa berkata jika Angga-nya sudah meninggal. Kini lelaki itu malah mengaku sebagai Angga yang menghabiskan kenangan bersamanya.
“Lo gila!” cela Reina. Tangisannya ia paksa berhenti, namun bukannya berhenti rasa sesak di dada membuat air matanya semakin menjadi.
“Gue ingat, cinta pertama gue emang bernama Awan Putra Anggara!”
“Lo jangan sekali-sekali mempermainkan gue!” bentak Reina.
Gadis itu melangkah mundur saat Angkasa melangkah lebih dekat ke arahnya. Reina gemetar, ia tak percaya jika orang yang kini ada di hadapannya adalah Angga-nya. Ingatan Reina tak mungkin berbohong, bukti-bukti dibuku kenangan juga menunjukkan jika cinta pertamanya adalah Awan.
Angkasa menyerah, ia memilih berhenti melangkah, tatapan matanya sudah tak lagi terbaca. Lelaki itu menghela nafas lelah sebentar, lalu satu kalimat yang keluar dari bibirnya membuat kaki Reina tak mampu lagi menopang tubuhnya.
“Awan emang cinta pertama lo, tapi Gue adalah orang yang menggantikan posisi Awan sebagai Angga saat ia meninggal.” Semua yang dikatakan Angkasa tak masuk akal, tetapi beberapa ingatannya tentang Angga yang terasa janggal seperti sedang membenarkan pernyataan yang baru saja Angkasa lontarkan.
“Waktu itu, sebelum Awan meninggal, dia minta gue gantiin posisinya buat bahagiain lo,” ujar Angkasa.
Sekelabat ingatan langsung membuat Reina terdiam. Gadis itu tertegun, ia ingat saat tiba-tiba saja Angga yang sangat menggemari fisika, tiba-tiba saja bolos sekolah karena ada pelajaran kimia dan fisika.
“Juni 2016, apa itu hari pertama lo menggantikan posisi Awan sebagai Angga?” tebak Reina dan langsung dijawab Angkasa dengan anggukan. Membuat gadis itu terlempar pada hari di mana pertama kali ia mengenal Angkasa yang berpura-pura menjadi Angga.
Jadi, selama itu? Tanya Reina dalam hati.
💊