-Please, be my remedy-
Reina
💊
Kembali pada saat terakhir kejadian di rumah usang. Reina sudah terduduk dipinggir ranjang, sambil meremas seprai yang beberapa saat lalu ia pasang. Gadis dengan surai coklat pekat itu terpaku, kepalanya menunduk dalam dan membiarkan air matanya lolos begitu saja. Ia bahkan sama sekali tak berniat menyeka air matanya barang setetespun.
Reina marah. Ia merasa selama ini telah dibodohi. Bahkan amarahnya telah bersatu padu dangan rasa bingung, tentang siapa lelaki yang sebenarnya ia cintai dulu. Angga versi Awan atau Angga versi Angkasa?
“Rein,” ujar Angkasa. Ia menatap Reina yang masih menunduk dengan tatapan sendu. Rasanya lelaki berbadan jangkung itu ingin sekali merengkuh Reina yang sedang menangis dalam diam. Tapi, ia tahu ada batasan besar yang membuatnya tak bisa mengikuti kata hatinya.
“Lo boleh marah sama gue, tapi gue ngelakuin itu semua atas permintaan Awan,” ujar Angkasa lagi. Lelaki itu sesekali melirik jendela kamar lantai dua ini. Matanya menangkap beberapa tetesan air yang hinggap di jendela, langit mendung yang terlihat kini menjelaskan semuanya. Hujan turun, bertepatan dengan Reina yang sedang menangis.
“Jadi sekarang lo nyalahin Awan yang udah nggak ada?” tanya Reina, tak ada intonasi emosi di suaranya dan hal itu semakin membuat Angkasa merasa khawatir.
Angkasa berusaha mendekat, saat tepat berada di depan Reina yang masih menunduk ia bersimpuh. Menjadikan lututnya sebagai tumpuan dan membuat posisi tubuhnya lebih rendah dari Reina. “Gue nggak nyalahin Awan. Sedari awal gue yang salah. Gue nggak bisa ingkarin janji gue sama Awan. Dan gue juga nggak bisa jujur sama lo,” tukas Angkasa.
Kalimat Angkasa barusan membuat Reina mengangkat kepalanya. Menatap lurus Angkasa yang kini menatapnya. Kedua mata mereka bertemu, dan lagi-lagi Reina menangis, tanpa berbicara sepatah katapun. “Lo kalau mau marah, marah sama gue Rein. Gue yang salah karena nggak mau lihat senyum lo hilang. Gue yang salah karena jatuh cinta sama lo saat lo tau gue ini orang lain,” aku Angkasa.
Reina tertegun. Matanya mengerjap beberapa kali dan tanpa menunggu lama, gadis itu bangkit. Berjalan menjauhi Angkasa yang matanya masih tak berhenti mengikuti kemana arah Reina melangkah.
“Rein! Tunggu!”
Reina mendengar teriakan Angkasa yang memanggil namanya, tapi gadis itu sengaja mengabaikan. Pernyataan Angkasa tentang lelaki itu yang mencintainya membuat Reina semakin bingung. Karena sejujurnya, kini dadanya berdebar kencang. Hampir sama kencangnya saat ia bertemu dengan Elang.
“Jangan menghindar Rein, lo sendiri tadi yang minta gue jujur. Sekarang gue udah jujur dan lo malah lari?”
Seketika, Reina menghentikan langkahnya. Ia memutar badannya yang tadi membelakangi Angkasa. Menatap lelaki jangkung yang kini berdiri kurang lebih empat langkah di depannya. Reina menyeka air matanya, sebelum pada akhirnya berkata, “Gue nggak lari, gue cuma menghindari hal-hal yang buat gue sakit lagi.”
Gantian, Angkasa yang terdiam. Kalimat yang Reina ucapkan menjadi pukulan kuat untuknya. Ia jadi semakin merasa bersalah karena membuat gadis itu berlarut dalam kesakitan. Kini Reina sudah memiliki Elang, mungkin sahabatnya itulah yang ditakdirikan untuk membuat gadis berwajah jutek tapi cantik itu bahagia.
“Jadi, lo pikir dengan ngehindarin gue semua rasa sakit lo bakal hilang?” tanya Angkasa.
Reina menjawabnya dengan anggukan dan Angkasa rasa tugasnya sudah benar-benar selesai. Ia sudah jujur tentang apa yang terjadi, dan Reina juga perlahan kembali seperti dirinya yang dulu. Angkasa sudah tak lagi diperlukan. Jika Elang saja sudah cukup membuat gadis yang ia cintai bahagia, maka Angkasa rasa itu saja sudah cukup baginya.
“Oke, kalau itu bisa ngebuat lo bahagia. Gue pergi Rein. Gue percaya Elang bisa buat lo bahagia. Tapi kalau suatu saat prediksi gue salah, lo datang ke gue. Kapanpun lo butuh.”
💊
Di tangga saat hendak turun ke lantai satu, Reina berpapasan dengan Elang yang hendak naik. Elang yang niatnya ke atas untuk menyusul Reina langsung berhenti melangkah. Wajah tanpa ekspresi yang Reina tampilkan membuat Elang yakin jika Angkasa sudah benar-benar menceritakan apa yang terjadi.