Like Ice cream chocomint. Can we be like them?
đź’Š
“Jadi, apa sebenarnya yang terjadi tadi?” todong Dirga.
Reina membuang muka mendengar pertanyaan Dirga. Gadis itu berusaha mengalihkan pembicaraan dengan kembali melihat-lihat menu makanan. Tetapi Dirga seolah-olah tak ingin melihat apa yang Reina lakukan sekarang, lelaki itu justru menarik buku menu yang Reina sengaja buat menutupi seluruh wajahnya.
“Reina, lo lupa kalo dulu kita sepakat untuk nggak nyimpen rahasia apapun satu sama lain?” hardik Dirga. Mata lelaki itu memicing, Reina malah memasang wajah tak bersalah kemudian memanggil pelayan.
“Rein, jawab gue, lo budek?”
Reina masih memesan makanannya, kemudian kembali mengotak-atik buku menu dan menyebutkan beberapa menu yang biasa Dirga pesan jika mereka pergi kemari. “Udah itu aja kak, makasih ya,” ujar Reina. Setelah pelayan tadi pergi, Reina menatap Dirga dengan wajah masam.
“Gue nggak budek, lo yang pikun!” hardik Reina. “Bukannya lo ke sini mau makan karena kelaperan, terus lo mau buang-buang waktu tidur sore gue dengan ngebahas hal ini sekarang?”
“Reina! Lo nggak usah ngalihin pembicaraan.” Dirga berucap tegas, mata sipitnya ia buat melotot.
“Ga, please...” ujar Reina lirih. “Gue bakal cerita sama lo, tapi bukan sekarang.”
Bukannya Reina ingin merahasikan apa yang terjadi dari Dirga. Hanya saja gadis itu belum yakin dengan apa yang tadi ia lihat. Ia belum tau betul jika yang ia lihat adalah nyata atau hanya ilusi dirinya sendiri. Karena kalau boleh jujur, Anton, sosok ayahnya yang telah lama menghilang itu akhir-akhir ini sering mengisi bunga tidur Reina yang biasanya hanya diisi kegelapan.
“Oke, kalau gitu kita pulang sekarang,” ajak Dirga.
Kini, Reina yang tak setuju dengan keputusan sepihak yang Dirga buat. Ia baru saja memesan makanan untuk mereka berdua, dan dengan seenak jidatnya Dirga meminta pulang. Di saat makanan bahkan belum terhidang di hadapan mereka. Ini namanya pemborosan, dan Reina tak suka itu.
“Nggak, gue mendadak laper,” tolak Reina.
“Ya gue tau lo bakal laper, karena bohong itu butuh tenaga besar Rein,” sindir Dirga.
Kalau seperti ini terus, bisa-bisa Reina tak akan bisa pulang. Harusnya Reina tak perlu heran tentang sikap Dirga ini, karena ia tau jika Dirga tak akan berhenti sebelum mendapat apa yang ia mau.
Dirga, sesosok lelaki gigih yang pasti banyak sekali diincar ibu-ibu untuk dijadikan menantu idaman. Di tambah lagi sifatnya yang kelewat lemah lembut pada wanita dan membuatnya dicap sebagai playboy cap kerbau. Ya, Dirga hanya lemah lembut pada wanita, terkecuali Reina.
Reina menghela napas gusar, kemudian dengan satu tarikan nafas gadis itu mengabulkan apa yang sedari tadi Dirga inginkan.
“Habis makan, gue cerita.”
Senyum sumringah muncul dari pihak yang sedari tadi menunggu jawaban itu.
“Ulang, gue mau rekam ucapan lo sebagai jaminan,” ledek Dirga.
“Nanti. Gue. Cerita.”
đź’Š
Di perjalana pulang, polusi udara dan juga macet yang harusnya sudah menjadi hal biasa bagi Reina kali ini benar-benar membuat gadis itu merasa jengkel. Di tambah lagi, ia yang sama sekali tak memakai helm, membuat polusi udara dan panasnya matahari yang menyengat makin membuatnya jengah. Reina mengengkus, kemudian menoleh ke sebelah kanan dan melihat seorang remaja yang mungkin seumuran dengannya sedang membawa helm, tanpa mengenakannya.
“Lo liat deh,” bisik Reina pada Dirga yang sibuk melihat jalanan di depannya. Suara deruan kendaraan bermotor membuat Dirga kesulitan mendengar kalimat Reina.
“Lo bilang apa Rein?” teriak Dirga kencang. Relfeks Reina mencubit pinggang Dirga memberi aba-aba lelaki itu untuk berbicara sedikit lebih pelan.
“Liat cewe yang berhenti di sebelah kanan kita,” bisik Reina lagi.
“Heem, terus kenapa?” tanya Dirga santai setelah menoleh sekilas ke arah gadis yang Reina maksud.
“Padahal dibawa helm, bisa-bisanya itu helm malah digantung, bukan dipake di kepala,” gerutu Reina. Dirga langsung tertawa lepas. Ia melihat Reina dari kaca spion yang mukanya sudah ditekuk sempurna. “Kalo nggak dipake mending gue yang pake, deh!” lanjut Reina geram.
“Yudah lo minta aja,” celetuk Dirga.
“Sayangnya gue bukan tukang palak, apalagi tukang minta-minta.”
“Terima nasib aja kalo gitu. Nanti kalo sampe kita kena tilang, lo gue korbanin.”
Lampu merah berubah jadi hijau dan Dirga langsung melajukan motornya menyelip beberapa kendaraan yang ada di depan mereka.
“Kali ini kita beneran langsung pulang, kan?”
Dirga yang fokus mengemudi hanya menanggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Reina. Kemudian berbelok arah memasuki salah satu kawasan apartement yang cukup terbilang mewah di Jakarta.
“Kita ke apartement gue dulu ya,” ucap Dirga.
Reina melotot, tapi tak bisa protes. Ia hanya bisa ikut turun dari kendaraan saat Dirga sudah memarkirikan motornya. Pelataran basement gedung apartement yang temaram membuar Reina sedikit merinding, jadi gadis itu hanya bisa mengikuti pergerakan Dirga.
“Kenapa nggak antar gue dulu baru ke sini sih, Ga?” protes Reina akhirnya.
Keduanya berjalan memasuki lobi gedung, kemudian berdiri tepat di depan lift dan menunggu benda kotak berbadan besi itu sampai di lantai yang mereka pijaki. “Gue mau ke psikiater,” aku Dirga.
Reina yang tadi matanya masih tertuju pada tulisan di lift langsung menoleh cepat pada Dirga. Seolah-olah tak percaya dengan apa yang ia dengar. “Ke psikiater? Lo ada masalah apa?”
“Gue juga nggak tau, Rein. Tapi yang jelas gue sadar kalo ada yang salah di badan gue.”
“Kenapa lo bisa nyimpulin itu?”
Pintu lift terbuka, keduanya serentak masuk ke dalam. Namun, sebelum pintu lift tertutup kembali, sebuah tangan menahannya. Membuat pintu kembali terbuka otomatis. Menjadikan pertanyaan Reina terjeda seketika tanpa mendapatkan jawabannya.
“Vino?” ujar Reina dan Dirga bersamaan.