Remedy

Rima Selvani
Chapter #20

The Truth

Jika bisa meminta, aku ingin jatuh cinta pada hati yang tak berdusta. Jika hati memiliki insting bertahan, mungkin dia takkan tertipu padamu yang jelas-jelas mendua. Dan mirisnya, aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa.

💊 

“Lo nggak masuk?” Pintu yang baru saja terbuka tanpa ditutup kembali itu membuka akses siapapun untuk melihat ke dalam. Bianca terbaring di sana dengan selang infus yang melekat di tangan.

“Lo kenal Bianca dari mana?” Bukannya menjawab pertanyaan yang baru saja Reina layangkan, Angkasa justru bertanya balik, membuat Reina maju beberapa langkah untuk lebih leluasa menatap lelaki yang ada di dekatnya kini.

Keduanya sama-sama berdiri di tembok lorong rumah sakit, dengan posisi yang saling berlawanan. “Gue manggil lo ke sini bukan untuk jawab pertanyaan lo tentang gue kenal Bianca dari mana. Sekarang itu nggak penting.”

“Dia kenapa?”

“Lo nggak mau masuk dulu?” tanya Reina lagi. Gadis itu sudah bersikeras bersikap biasa saja. Berusaha bertingkah seperti sebelum ia mengetahui jika Angkasa adalah Angga-nya.

“Kalau gue melangkah masuk, itu tandanya usaha yang gue lakuin beberapa tahun terakhir sia-sia,” jawab Angkasa masih dengan wajah tanpa ekspresi yang ia miliki.

Angkasa melihat wajah Reina. Wajah yang sampai sekarang masih menjadi mimpi terbaik di hidupnya. Kalau beberapa tahun silam ia lebih memilih Reina dari pada Bianca, maka sampai saat ini lelaki itu tak pernah merubah pilihannya. Reina tetap menjadi yang utama meski sekarang Elang yang ada bersamanya.

“Maksud lo?”

Tatapan Angkasa masih terpaku pada wajah Reina, sampai lelaki itu bergerak maju dan memperkecil jarak di antara keduanya. “Gue cinta lo, dari dulu sampai sekarang.”

Jika kalimat Angkasa bisa dianggap sebagai pengakuan, maka Reina akui pengakuan ini mengejutkannya. Meski lelaki itu juga sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi Reina masih merasakan ada debar yang terasa. Meski hanya samar, tapi nyata adanya.

“Dan, apa kaitan tentang perasaan lo ke gue, sama persahabatan lo dan Bianca?” tanya Reina, gadis itu berusaha menormalkan intonasi suaranya. Ia tak ingin terdengar gugup. Apalagi salah tingkah. Reina sudah memiliki Elang dan ia tak boleh goyah.

 “Karena gue cinta sama lo, gue nggak mau punya hubungan lebih dari teman sama yang lain. Apalagi Bianca.”

Jika diminta untuk mengerti dengan jelas maksud ucapan Angkasa, Reina jelas tak mau menyimpulkan sesukanya. Ia tak ingin besar kepala dan menganggap jika Angkasa begitu sangat mencintainya dan menolak gadis-gadis lain yang datang.

“Bianca suka sama gue, perasaan yang lebih dari sekedar sahabat,” aku Angkasa saat melihat Reina sama sekali tak menanggapinya kalimatnya. “Tapi gue nggak bisa ngasih yang dia mau.”

“Jadi karena itu lo ngejauhin Bianca dan buat persahabatan kalian jadi jauh?”

Angkasa menggelengkan kepalanya, membuat dahi Reina berkerut karena rasa penasaran yang kian lama makin membuncah. Harusnya ia tak perlu seiingin tahu ini tentang kehidupan orang lain, namun ada sisi lain di dirinya yang menginginkan persahabatan ketiga orang itu kembali membaik.

“Waktu itu alasan utama gue milih ngejauh dari kehidupan Bianca bukan cuma karena perasaan gue ke elo, Rein.”

Dari tempatnya yang kini telah berdiri di samping Reina, Angkasa bisa melihat Bianca yang masih tertidur pulas. Ada sedikit penyesalan dari lelaki itu karena tak bisa mendampingi Bianca sebagai sahabat, sebagaimana janji mereka dulu untuk selalu ada saat yang lainnya membutuhkan. Tapi, lagi-lagi semua itu tak bisa ia tepati, karena jika persahabatan sudah terlibat sebuah perasaan yang lebih dari itu akan sangat sulit dihindari dari yang namanya keretakkan.

“Waktu itu. Waktu Bianca bilang punya perasaan suka ke gue lebih dari sekedar sahabat. Elang ada di sana, tepat di belakang Bianca. Gadis itu nggak pernah sadar kalau Elang juga punya perasaan lebih dari sekedar sahabat untuknya.”

Jika hati bisa mengeluarkan suaranya. Mungkin kini salah satu organ paling kursial dalam tubuh manusia itu sudah menjerit sekarang. Memberitahukan keadaannya pada seluruh dunia jika sedang tak baik-baik saja. Reina merasakan sesat di dadanya. Mengatahui fakta jika mungkin saja Elang sampai sekarang masih mencinta Bianca.

“Maksud lo, Elang cinta sama Bianca?”

Reina berusaha sesantai mungkin dalam berucap, bahkan gadis itu membuat tawa kecil seolah menganggap kalimat Angkasa adalah sebuah kebohongan atau hanya lelucon ringan yang dilontarkan seorang teman. “Lo salah kali Sa,” lanjutnya.

Manusia, jika dihadapkan pada satu hal yang tak mereka inginkan, hal yang paring sering dilakukan pertama kali adalah menyangkal dan inilah yang sedang Reina lakukan. Gadis itu berlindung pada topeng gadis kuat yang selama ini ia tampilkan. Reina mengepalkan tangannya kuat, meremas rok sekolah yang masih ia kenakan.

Sedangkan Angkasa. Lelaki itu hanya bisa melihat Reina yang berdiri di sampingnya. Meski bibir gadis itu tersenyum, Angkasa yakin ia sedang tak baik-baik saja. Lelaki itu pernah sangat dekat dengan Reina, ia tau gadis itu akan selalu mengenggam apapun kuat-kuat untuk menahan amarah dan rasa sakitnya.

“Gue nggak akan ngomong hal yang nggak pasti. Gue emang cinta sama lo Rein, tapi gue nggak sepicik itu sampe ngarang cerita bohong untuk ngebuat kalian berdua jauh. Elang juga sahabat gue.”

Bolehkah kali ini saja Reina menganggap kalimat yang Angkasa lontarkan adalah sebuah kebohongan. Atau bolehkan Reina berpura-pura tak mendengar apa yang lelaki itu katakan? Harusnya, bisa saja Reina melakukan semua itu. Tapi, sebuah langkah yang kini sedang tergesa-gesa berlari kerah mereka itu membuat Reina mau tak mau mempercayai kalimat yang Angkasa katakan. Wajah Elang yang berlari ke ruangan tempat Bianca di rawat sudah menggambarkan semuanya.

Wajah khawatir Elang, yang bahkan tak menyadari keberadaan Reina dan Angkasa yang berdiri tepat di seberang pintu masuk. Bahkan Reina kini dapat melihat dengan kedua bola matanya sendiri, kini Elang sedang duduk sambil menatap Bianca yang masih tak sadarkan diri.

Lelaki itu meraih tangan Bianca yang bebas dari infus.

Mengenggamnya erat, kemudian melayangkan kecupan singkat di tangan Bianca yang ia genggam.

Reina masih diam memperhatikan. Di temani Angkasa yang tak putus menatap wajah Reina yang kecewa. Kemudian, napas Reina tercekat saat Elang berdiri dan mengecup kening Bianca lama. Lama sekali hingga Reina tak menyadari air matanya sudah mengalir sampai pipi.

“Wajar Elang begitu, dia khawatir sama sahabatnya,” ujar Reina. Selain untuk memperlihatkan pada Angkasa jika ia baik-baik saja, gadis itu jugsa sedang mengibur dirinya sendiri.

“Ya, mungkin Elang cuma khawatir,” balas Angkasa. Lelaki itu tak tega melihat Reina lagi-lagi menangis. Jika saja gadis itu kini memintanya untuk menggantikan posisi Elang, maka Angkasa dengan senang hati akan mengabulkannya. Mengambil kesempatan dalam kesempitan? Bukan. Angkasa tak pernah berpikiran seperti itu. Ia hanya ingin ada seseorang yang selalu ada untuk Reina. Dan ia bisa menjanjikan itu. Bahkan kali ini, Angkasa ada di samping Reina yang sedang menangis tanpa suara.

“Ya, gue yakin Elang cuma khawatir,” ulang Reina sekali lagi.

Namun, bertentangan dengan apa yang bibirnya ucap. Hatinya justru meragu.

Lihat selengkapnya