Setidaknya,
jika ingin pergi beri aku aba-aba
Pergi sesukamu meninggalkan luka
lalu kembali seperti tak terjadi apa-apa
-REINA
"Reina!"
Suara teriakan itu mengintrupsi Reina yang sedang mengemasi alat tulisnya. Ketika melihat siapa yang memanggil Reina bergegas memasukkan alat tulis itu ke dalam tas. Sejenak ia mengamati seisi kelas dan menyadari kini ia dan si pemanggil telah menjadi pusat perhatian seluruh murid yang berada di kelas. Setelah semua barang miliknya masuk ke dalam tas, dengan segera Reina berjalan menghampiri Elang lalu menariknya menjauh.
"Lo ngapain sih ke kelas gue?" ucap Reina
Gadis itu tak ingin ada gosip menyebar jika ia dan Elang ada hubungan. Reina tak ingin dipusingkan dengan berita tak berdasar yang selalu saja muncul tentang dirinya. Kali ini jangan lagi ada yang seperti itu. Elang yang sedari tadi tangannya ditarik oleh Reina hanya diam dan mengikuti kemana Reina membawanya.
Kini mereka telah sampai di taman belakang sekolah. Tempat yang lumayan sepi jika sudah jam pulang sekolah seperti ini.
"Lo ngapa-"
Kalimat Reina terpotong karena Elang sengaja menaruh jari telunjuknya di bibir Reina.
"Lo harus tanggung jawab," ucap Elang
"Maksud-"
Lagi-lagi kalimat itu terpotong karena alasan yang sama dan itu membuat Riena kesal bukan main dengan si pelaku.
"Gara-gara lo, motor gue ketinggalan di gang tadi dan sekarang lo harus temanin gue buat jemput tu motor. Gak pake nolak, buruan!" jelas Elang.
Tanpa memberikan waktu Reina terlebih dahulu untuk menjawab Elang justru menarik tangan Reina berjalan mengikutinya. Reina yang sedari tadi telah kesal langsung melepaskan pegangan Elang yang pada tangannya. Lalu berjalan lebih dulu.
"Jadi sekarang kita pulang pakai apa?" tanya Reina saat mereka berdua telah berdiri di depan gerbang sekolah.
"Naik bis,"
Baru saja selesai berkata seperti itu, bis yang biasa berhenti di sekolah mereka tiba. Elang melarikan matanya ke arah Reina. Menggenggam tangan gadis itu lalu menariknya menuju halte dan segera masuk ke dalam bis.
💊
Bis berhenti di daerah yang tidak Reina ketahui namanya, yang jelas jarak dari sekolahnya menuju tempat ini memakan waktu selama tigapuluh menit. Sunyi yang sedari tadi nyaman menemani mereka berdua membuat Reina mati kutu. Ia tak pernah memulai pembicaraan terlebih dahulu dengan seorang lelaki, karena biasanya yang memulai selalu pihak lelaki. Tetapi, Elang berbeda. Ia memilih diam dan memimpin jalan menuju ke tempat yang sedari tadi ingin sekali Reina tanyakan. Membuat pertanyaan yang sedari tadi ingin Reina lontarkan tertahan di tenggorokan. Reina masih terus mengikuti Elang sampai lelaki itu berhenti tepat di depan sebuah rumah usang yang pekarangannya telah tertutup oleh ilalang tinggi.
Pikiran negatif langsung menghampiri Reina saat melihat tempat tujuan yang mereka datangi. Elang berteman dengan preman dan sekarang ia sedang di bawa ke rumah usang yang mungkin digunakan sebagai markas para preman itu. Bodohnya Reina baru menyadari sekarang, bisa jadi ini bukan hari terakhir Elang melihat dunia, tetapi hari terakhirnya.
"Lo kenapa?" tanya Elang, yang menyadari Reina sudah tak mengikutinya lagi. Reina masih berdiri di depan pagar rumah usang itu, sedangkan Elang telah berjalan melewati ilalang yang tanpa Reina sadar sedikit tersingkap tanda memang sudah sering di lalui. Elang memperhatikan wajah Reina yang memucat, lalu segera paham akan isi pikiran Reina.
"Gue punya dua orang tua yang cukup berada untuk memenuhi kebutuhan gue. Jadi,lo gak perlu takut bakalan mati hari ini. Gue gak punya pikiran buat jual lo, atau belum kepikiran," ucap Elang panjang lebar dengan memberi sedikit guyonan di ujung kalimatnya. Semoga saja kalimat terakhir yang ia ucapkan tidak dianggap serius oleh Reina.
Reina sadar, kata-kata barusan adalah ejekan yang sengaja Elang ucapkan untuk mengejekknya.
"Siapa bilang gue takut?" ujar Reina lalu bergegas menyusul Elang dan dengan langkah yang sengaja ia lebarkan ia mendahului Elang hingga kini telah berdiri tepat di depan pintu.