9
Entahlah
RIANA_.
“Rugal aku ingin pulang sendiri saja, aku ada janji dengan Chika di depan kampus, aku sudah telat 10 menit” sesekali aku melirik jam tanganku, Chika dia teman kampusku, kami harus membicarakan soal kerja kelompok kami, dia pasti sudah kesal menungguku di sana.
Wajah kesal Chika sebentar lagi pasti akan menghantuiku, aku ingat betul bagaimana dia marah, alisnya yang tebal matanya yang tajam membuatku ngeri saat melihatnya, apalagi sekarang dia ini jadi ketua kelompokku.
“Ya sudah aku antarkan saja biar lebih cepat, hari ini aku pakai motor” tawar Rugal, aku masih panik, rasanya aku ingin sekali punya pintu kemana saja seperti di flm doraemon kartun kesukaanku itu, mungkin dari tadi aku sudah sampai tujuan.
“Bagaimana aku antarkan yah?” aku pura-pura tidak mendengarnya dan so sibuk mencari benda tipis yang ada di saku celanaku.
“Baiklah coba telpon dia” sarannya lagi, aku menepuk jidat, ponselku tertinggal di meja rias Kakak.
“Ponselku ketinggalan di rumah” wajahku memelas di hadapannya, sungguh memprihatinkan aku ini.
“Aku juga sama-sama tidak bawa ponsel, lalu sekarang bagaimana?” aku bersikeras memikirkan bagaimana caranya menghubungi Chika.
“Untung saja kamu ingat saat jalan bersamaku, coba kalau dengan si Malik itu kamu pasti akan lupa total” aku mendengus berat mendengar ucapan Rugal dan memilih untuk tidak meladeninya. Dia ini selalu saja cari gara-gara denganku.
“Aku harus kesana sekarang, siapa tahu Chika masih ada di sana” akhirnya aku memilih untuk meninggalkan Rugal sendirian dan berlari secepat mungkin ke tempat kuliah.
...
Nafasku terengah-engah, nafasku naik turun, mataku cepat menyelidik daerah sekitar. Semoga Chika masih disini, sudah sekitar kurang lebih 10 menit aku mengelilingi daerah kampus tak ada siapapun disini, bahkan batang hidung Chikapun tak terlihat.
Ini gawat, nanti aku pasti akan kena omelan darinya, tapi mau bagaimana lagi, aku sudah mulai lelah mencarinya, sudahlah tak apa, biar aku jelaskan nanti. Mataku terhenti pada salah satu halte yang tak jauh dari mataku, aku memilih untuk pulang, saat di rumah nanti aku bisa menelpon Chika dengan cara baik-baik.
Tak lama bus berhenti di halte itu, mengeluarkan suara khasnya dan menimbulkan beberapa gumpalan asap hitam di udara. Bus hanya maju sebentar lalu berhenti lagi di halte dekat lapangan basket tadi, membuat tubuhku yang kecil sedikit terhentak.
Beberapa orang masuk dan mulai memenuhi isi bus, aku sendiri berdiri di antara orang-orang yang tingginya melebihiku. Karna hujan mulai turun dan membasahi bumi yang hampir kering ini, kaca bus pun perlahan mulai berembun, rasanya aku ingin sekali mengusapnya.
Rintikan hujan ini mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang mungkin dulu pernah melindungiku, pria itu selalu menemaniku saat petir datang dan mengeluarkan suara yang mengerikan. Yang muncul di dalam pikiranku adalah sosok anak laki-laki itu.
Entah dari mana, aku bisa mengingatnya dengan cara tiba-tiba, sekarang aku sedikit ingat kalau anak laki-laki yang kusandari waktu kecil itu adalah sosok yang sekarang sedang muncul di dalam pikiranku.
Iya dia dulu pernah melindungiku dan berusaha menangkanku saat gemuruh petir itu mengeluarkan suara yang mengerikan. Foto itu masih ada di album Kak Falah, tapi sayangnya aku tidak ingat siapa namanya dan dimana dia sekarang, rindu rasanya pada sosok itu.
Aku menoleh cepat saat ada pria yang tak sengaja menyenggol pundakku.
Sosok itu...