16
Ternyata
“Aakhh...kepalaku” teriakku, tubuhku merosot ke bawah, kedua tanganku menekuk ke atas seakan-akan sedang menahan kepalaku yang sakit. Mataku terpejam saat rasa sakit itu mulai menjalar ke seluruh kepalaku.
“Riana kamu kenapa?”
“Riana...” suara Chikapun mulai terdengar samar sekarang, dia menggoyang-goyangkan tubuhku berusaha menyadarkanku, kepalaku yang semakin sakit membutaku semakin sulit membuka mata.
Bayangan masa lalu itu muncul lagi di pikiranku.
“Riana cepat!”
“Sebentar, tunggu aku”
“Jangan tinggalkan aku” dengan anak laki-laki yang masih sama.
“Jangan tinggalkan aku” anak laki-laki itu...
Bayangan itu tak terlihat jelas sama sekali, sosok itu menghampiriku, wajahnya kini sangat dekat denganku tapi sayangnya semuanya percuma.
“Riana, kamu sakit?” saat mataku terbuka dengan perlahan aku sudah mendapati wajah Chika yang pucat, sepertinya dia mengkhawatirkanku. Aku seperti habis masuk demensi lain.
“Tadi kamu sempat kejang-kejang sambil menahan kepala persis seperti orang yang migren berat, lalu kamu pingsan” jelasnya.
“Aku rasa aku baik-baik saja”
“Sepertinya kamu butuh istirahat yang cukup hari ini, kamu kelelahan”
“Tak apa, lagipula ini sudah sering terjadi, kepalaku suka tiba-tiba sakit, lalu sembuh lagi” belaku agar terlihat baik-baik saja.
“Sudah pernah periksa? Ini minum dulu” aku menggeleng saat air hangat itu masuk menyeruak ke tenggorokanku yang mulai terasa sakit karna belum minum air putih setelah menghabiskan ramen itu.
“Mau kuantar untuk periksa ke dokter?”
“Tidak usah lagipula ini sudah sering terjadi belakangan ini, jadi ya sudahlah...paling hanya kelelahan”
“Tapi jangan di biarkan, itu tidak baik” Chika memancarkan tatapan khawatir, aku sedikit tak menyangka kalau Chika bisa sehangat ini.
“Kamu tahu...” sengaja aku tidak melanjutkan ucapanku sendiri, aku ingin membuat Chika penasaran. Dia sekarang menatapku menunggu lanjutan dari ucapanku.
“Setiap kali kepalaku sakit, bayangan itu selalu saja muncul, bayangan anak laki-laki yang ada di foto itu” ada penekanan di akhir kalimatnya.