18
Sebuah Keajaiban
RUGAL_.
Aku tertunduk malu di hadapan Ayah, merasa tidak berguna menjadi seorang pria yang belum bisa melindungi gadisnya sendiri, Riana saja tidak bisa di temukan merasa seperti pengecut.
Ayah membelakangiku sedari tadi, aku berdiri masih dengan keadaan basah kuyup, rambutku hampir kering karna terlalu lama berdiam di sini, lebam di rahangku masih terasa sakit.
“Kamu sudah mencarinya?” tanyanya dengan nada penuh kewibawaan, nyaris membuat jantungku berhenti berdetak.
“Sudah” aku masih tertunduk.
“Maximal?” belum, aku belum maximal mencarinya.
“Aku sudah mencari ke tempat yang biasa dia datangi tapi di sana tetap tidak ada, bahkan dia tidak membawa ponselnya” ucapku berharap Ayah puas dengan jawabanku.
“Kamu sendiri yang cerita pada Ayah kalau keadaan Riana akhir-akhir ini sangat memprihatinkan, seharusnya kamu ada di saat keadaannya memang sangat butuh pendengar yang baik” aku terdiam tak berani membalsa ucapan Ayah kecuali di tanya.
“Kemarin Tuan jafar menyuruhku untuk segera menemukan gadis itu”
“Lalu?”
“Aku tidak berhasil menemukannya” harusnya kemarin itu aku tidak meninggalkannya sendirian, beginilah akibatnya, Riana punya kebiasaan kabur-kaburan jika sedang ada masalah, dia bisa hilang sampai 1 pekan lebih tentu saja membuat orang lain merasa cemas.
“Cari dia sampai ketemu, dan jangan pulang jika belum menemukannya, aku tidak mau mengecewakan Tuan Jafar” di dalam hati, aku menghela nafa kasar, seharian aku sudah mencarinya, aku butuh istirahat sekarang.
Ayah sudah menghilang di hadapanku, aku harus segera ganti baju, setelah ini aku harus pergi untuk mencarinya lagi. ku nyalakan mesin mobilku, dua bodyguard yang biasa menemaniku kini sengaja Ayah tahan. Memangnya dari kemarin siapa yang mengendarai mobilnya? Ayah kira tukang becak? Tentu saja aku, Ayah tidak tahu kalau aku sudah terbiasa pergi-pergian tanpa bodyguard.
Ku tatap kaca sepion milikku yang masih mengkilap merilekskan diri, aku yakin setelah ini tanganku akan merasakan keram berhari-hari. Kini mobilku sudah menabrak ribuan tetesan hujan, pembersih kaca bergerak ke kanan dan ke kiri menghapus embun yang menghalangi kaca penglihatanku.
Dan kafe...Kafe adalah tempat dimana aku menumpahkan segala kelelahanku, beristirahat sejenak hanya untuk menikmati mimumannya sekalian merebahkan bokongku yang kelelahan akibat terlalu lama duduk di mobil.
Alunan musik menyeruak masuk ke telingaku menghancurkan lamunanku, musik yang berhasil menghilangkan rasa frustasiku meskipun sedikit. Tapi seperti apapun keadaanku atau seberat apapun masalahku aku tidak berani menyentuh apapun yang berbaur alkohol.
Tak lama aku istirahat di kafe yang menyenangkan ini, setelah itu aku pergi lagi untuk mencarinya lagi.
“Riana dimana kamu?”
...
RIANA_.
Ku sandarkan kepalaku di pundaknya yang kecil tapi berhasil membuatku merasa nyaman, beberapa obat sudah aku coba berharap sakit ini cepat sembuh dan aku tidak merepotkan Chika dan Malik lagi.
“Bagaimana ada obat yang berefek?” tanya Malik yang datang dengan membawa beberapa cemilan di tangannya.
“Belum, aku tidak merasakan apapun” jawabku pasrah.
“Ya sudah stop obat-obatan yang berasal dari apotek, biarkan Riana minum obat herbalku dulu”
“Memangnya Riana mau minum obat anehmu itu?” ledek Chika tanpa menoleh lalu melahap beberapa cemilan ke mulutnya.
“Tentu saja mau” delik Malik tak mau kalah. Aku hanya terkekeh melihat tingkah mereka, tiada hari tanpa berdebat. Ya, aku rasa suasana rumah agak sedikit aneh jika tidak mendengarkan perdebatan mereka.
“Eh Malik tadi aku baru saja bertemu dengan pria yang menyebalkan, dia dengan santainya menjatuhkan makananku dan tidak mau bertanggung jawab” ku lihat bibirnya yang mengerucut kesal dan ekspresi wajahnya yang merah menahan amarah.
“Siapa..?” tanya Malik tenang lalu melahan cemilan yang baru saja ia bawa.
“Tidak tahu” jawabnya ketus.
“lalu kamu apakan pria itu?” ucapan Malik seakan-akan terlihat peduli tapi wajahnya kelihatan sama sekali tak peduli.
“Ku pukul dia” Chika mempraktikan tangannya bagaimana cara ia memukul tadi.
“Cih sudah ku duga” Malik tertawa membuat wajahnya terlihat memerah, Malik sepertinya tahu persis siapa Chika itu, aku hanya ikut tertawa ringan agar suasana tidak terlalu aneh.
“Bagaimana jika nanti wisuda kita selesai kamu main ke kampung halamanku?” usul Chika. Sebenarnya aku masih ingin menghabiskan waktu dengan Chika terutama Malik pria berwajah dingin itu, tapi setelah usai wisuda lain lagi ceritanya.
“Hmm..maunya seperti itu tapi...aku memilih untuk tinggal dengan kakekku saja”
“Baiklah tak apa, berarti lain kali saja kamu main ke sana”
“Iya” ku harap begitu.
“Oh iya, di kampung halaman..kalian hanya tinggal berdua?” tanyaku membuat Malik tiba-tiba melotot aneh ke arahku.
“Iya tap...”
“Iya..tapi tenang saja kami tidak melakukan hal buruk apapun” selak Malik entah apa yang ada di dalam pikirannya selang beberapa detik gelagak tawa keluar dari mulut Chika. Aku hanya bergidig ngeri saat asal menebak apa yang ada di dalam pikiran Malik.
“lagipula, kamu itu bukan seleraku” di sela-sela tawanya Chika memasang wajah jijik, dan langsung mendapatkan balasan berdecih dari Malik, iya Malik memang bukan seleramu Chika tapi dia akan selalu menjadi seleraku.
“Oh iya, Chika aku mau tanya..”
“Apa?”
“Soal foto itu...kamu dapat dari mana?”
“Yang mana?” tanyanya sambil memasang wajah pura-pura tidak tahu.
“Foto yang pernah kamu perlihatkan padaku, yang sama dengan milikku ini” ku perlihatkan langsung foto yang baru ku ambil dari saku ku.
...
CHIKA_.