19
Sulit Rasanya
MALIK_.
Sarapan kali ini Chika yang buat meskipun hanya dengan roti yang berisi selai coklat, iya dia tahu kalau aku sangat suka coklat, dan segelas susu putih. Aku tersenyum tipis melihat atas roti yang tergambar di atasnya sebuah smile.
“Anak ini” gumamku sambil melahap rotinya. Mataku terkunci saat melihat pintu kamar yang di tempati Riana terbuka. Ku lihat Riana yang tengah menggeliat dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya.
“Bahkan saat tidur saja dia terlihat cantik meskipun dengan rambut yang acak-acakan” celetukku tiba-tiba dalam hati, eh bicara apa tadi?
“Sedang apa kamu?”
“Ukhu..ukhu...ukhu..” sial Chika mengejutkanku, segera ku teguk air susu itu agar batukku sedikit membaik, jangan bilang kalau dia tahu aku sedang mengintip Riana yang sedang tidur.
“Menurutmu?” ujarku ketus lalu melanjutkan melahap roti berisi selai coklat. Berharap Chika cepat-cepat pergi dari sini. Ku lirik dia yang sekarang sedang melihatku dengan tatapan seakan-akan aku telah mencuri sesuatu lalu tertangkap basah.
“Apa yang kamu lihat?”
“Hmm..mencurigakan” ucapnya yang semakin curiga denganku. Jangan sampai dia tahu. Kalau dia sampai tahu kalau aku tadi sedang memperhatikan Riana yang sedang tidur, pasti aku akan habis-habisan di ledek sebagai pria mesum olehnya, habislah harga diriku.
“Sudah pukul berapa sekarang? Kenapa kamu tidak pergi ke kuliahmu?” semoga dia pergi, kumohon pergilah. Dia mendengus sambil mengambil roti isi dan melahapnya lalu pergi tanpa berhenti manatapku dengan tatapan mencurigakan.
Kedua jarinya menunjukku tajam, bertanda kalau dia akan selalu mengawasiku, mataku mendelik tak peduli ke arahnya, setelah dia menghilang aku langsung menghembuskan nafas lega. Hampir saja.
Oh iya aku hampir lupa membuatkan obat untuk Riana, ku siapkan beberapa rempah-rempah dan ku tumbuk lalu ku campurkan sedikit resepku, setelah ku adukkan dengan air hangat, langsung saja aku simpan di atas meja, nanti juga Riana akan meminumnya.
...
RUGAL_.
Cermin itu memperlihatkan wajahku yang benar-benar mengerikan dengan rambut acak-acakan, lingkar hitam di bawah mataku terlihat sangat jelas. Bola mataku terlihat sangat merah karna seharian kemarin mencari Riana.
Aku juga tidak pulang ke rumah karna alasan Ayah tidak akan mengizinkanku untuk pulang sebelum Riana di temukan, akhirnya aku memilih untuk menginap di rumah Tuan Jafar, Tuan Jafar juga tidak keberatan sama sekali.
“Rugal wajahmu terlihat sangat mengerikan, maaf telah merepotkanmu” suara Tuan Jafar terdengar dari ambang pintu kamar.
“Ah tak apa, bukannya Riana sudah terbiasa hilang-hilangan seperti ini? Lagipula aku sudah terbiasa mencarinya seperti ini” celetukku dengan senyuman terpaksa.
“Padahal aku sudah mengirim enam bodyguard untuk mencari keberadaannya” ada nada pasrah di ujung kalimatnya. Aku yakin akibat Riana kabur dari rumah karna ada hal yang membuatnya merasa tidak nyaman berada di sini, yaitu kakeknya sendiri.
“Aku akan lebih berusaha lagi untuk mencarinya Tuan, aku punya tanggung jawab yang besar untuknya” Tuan Jafar tersenyum lebar saat aku mengatakan itu. Aku balas dengan senyuman lagi meskipun itu bohong, setelah Tuan Jafar menghilang di ambang pintu, senyumku sekejap langsung pudar.
“Anak itu menyusahkan sekali” aku mengacak rambutku frustasi. Jika aku jadi di posisi Tuan Jafar dan aku berhasil menemukannya sudah pasti aku akan langsung menghunusnya dengan pedang.
Ku lemparkan tubuhku ke atas kasur, menutup kedua mataku dengan tangan, hatiku tak berhenti mengutuk gadis itu.
“AAKH RIANAAAA!!”
...
MALIK_.
“Terima kasih” ucapku pada anak laki-laki yang sedang menggenggam es krim, sekarang pekerjaan tambahku adalah supermarket tempat dimana gadis-gadis sekolah yang sering datang ke sini. Kebanyakan dari mereka datang hanya untuk minta foto denganku.
Dan sekarang aku tengah berhadapan dengan anak yang tingginya hanya sepaha, anak itu mengambil kembaliannya lalu tersenyum manis.
“Kakak tampan” katanya dengan wajah polos, aku berdehem, biar ku tebak umur anak ini pasti umurnya sekitar 5-7 tahun, ku cubit pipinya gemas.
“Kamu lebih tampan” godaku yang berhasil membuatnya cengengesan malu.
“Aku kalau sudah besar ingin seperti Kakak” sekiar bibirnya belepotan dengan es krim yang mulai mencair.
“Kenapa ingin seperti ku...?” padahalkan jika sudah besar besar nanti dia pasti akan lebih tampan dariku, matanya yang bulat, halisnya hitam seperti warna rambutnya, es krimnya kini mencair seperti lava ke tangannya yang masih erat menggengam stik es krim.
“Karna Kakak lebih tampan dariku” aku terkekeh mendengarnya lalu tak lama di ikuti olehnya.
“Kamu tinggal dimana?”
“Di sana” tunjuknya cepat ke sebrang sana ada satu rumah berdinding kokoh dengan cat berwarna merah, ada beberapa bunga indah di sekitarnya. Aku mengangguk mengiyakannya.
“Kamu suka sendiri jika datang ke sini..?” ku hampiri dia dan jongkok di depan tubuhnya yang kecil, sambil membersihkan sekitar mulutnya dengan tangannya yang sudah berlumuran es krim.
“Huum”
“Oh iya aku namamu siapa?”
“Malik” senyumannya membuat gigi taringnya terlihat jelas, kenapa dia terlihat sedikit mirip denganku? Bahkan namanya juga.
“Waah namaku juga Malik, salam kenal Malik” kami berjabat tangan ringan, sedangkan tangan kirinya masih asik dengan es krimnya yang mencair.
“Berapa umurmu?” si kecil Malik mengangkat tangan kananya memperlihatkan kelima jarinya kepadaku.
“Lima tahun..?” dia tersennyum, berarti tebakanku benar.
“Kakak..?” tanyanya balik.
“Umurku masih 21 tahun” dia mengernyit memperlihatkan wajah bingungnya.
“Dua..pu..puluh..sa” dia berusah membentangkan tangannya dan mulai membayangkan angka yang ku sebutkan tadi.
“Belajar lebih giat lagi yah... aku janji jika kamu bisa menghitung sampai 21 aku akan memberikanmu hadiah” si kecil tersenyum sambil jingkrak-jingkrak di depanku.
“Aku akan belajar lebih giat lagi” ucapnya lalu pergi begitu saja dari hadapanku, berlari kecil menelusuri jalanan yang menuju ke rumahnya.
Dari kejauhan aku masih memperhatikannya, memastikan kalau dia pulang ke rumah dengan selamat, seorang wanita membukakan pintu dan menyambutnya, jantungku sepertinya langsung lompat dari rongganya, mataku jelas menangkap sosok itu.
Itu kan...
Aku yakin kalau tadi itu Ibuku, aku tidak salah lihat, bukannya kejadian di kedai itu telah merenggut nyawanya? Dahiku berkerut heran, ingin rasanya aku lari menghampirinya dan ku pastikan kalau dia adalah Ibu. Ku lihat ada semburat kebahagiaan di wajahnya yang sedikit berkerut itu.
Dari sisi lain aku bahagia melihatnya bisa selamat dari ledakan itu, tapi sebenarnya siapa si kecil Malik itu? Jangan-jangan dia anaknya. Atau saudaranya? Tapi seingat aku dia tidak mempunyai saudara yang namanya sama denganku.