Rumah itu terletak di pinggiran kota. Sebuah rumah kecil yang tampak sederhana dari luar namun sangat elok dan lega di bagian dalam. Rumah keluarga Clemens tidak berisi banyak perabotan, namun terlihat modern. Di ruang keluarga yang menjadi satu dengan ruang tamu itu, hanya terdapat meja kecil di atas karpet berbulu yang besar dan dua buah sofa yang menghadap televisi LED kecil yang tertempel pada tembok. Dari ruang keluarga itu dapat terlihat dapur rumah yang terbuka dan besar. Di depannya terdapat meja makan dengan empat buah kursi, tepat untuk setiap anggota keluarga. Di rumah inilah Filia, putri bungsu keluarga Clemens menghabiskan waktunya untuk makan, mengobrol, dan tertawa bersama keluarganya atau sekedar bermalas-malasan.
Hari ini adalah hari yang sedikit istimewa, membuat pagi di rumah itu terasa lebih ceria dibandingkan biasanya. Stevan Clemens berjalan cepat menuju kamar adiknya sambil sesekali melompat, dan membuka pintu kamar adiknya tanpa ketuk. Tangannya langsung meraih dan menekan saklar lampu di samping pintu, membuat seluruh ruangan itu kini menjadi terang. Kakinya mengambil langkah dengan lebih perlahan, sambil terus mendekati adiknya yang masih bermimpi.
"Ih, apa sih, kak!" Filia spontan membentak sambil menepis tangan kakaknya yang barusan menjepit hidungnya, membuatnya terbangun karena sesak. Tangan mungilnya menarik selimutnya dengan cepat sampai menutupi kepalanya.
"Bangun dong, Anak cengeng." Stevan tertawa kecil sambil terus menggoyangkan badan adiknya yang terbungkus selimut. Filia bergeming, namun sebetulnya sangat kesal. Tadi malam dia tidak bisa tidur karena memikirkan kelas barunya di hari pertama tahun ajaran baru ini dan sekarang yang membangunkannya adalah kakaknya yang usil, bahkan sebelum jam bekernya berbunyi. "Biasanya juga aku yang disuruh membangunkan kakak," pikir Filia. "Kenapa kakak semangat sekali bangun sepagi ini?"
"Ayo, cepetan," volume suara Stevan menjadi lebih keras dengan nada merengek yang sama dan mengesalkan bagi Filia. Mengetahui bahwa kakaknya tidak akan berhenti, Filia bangun dengan melepas amarahnya. "Aduh, iya, iya!" Filia duduk dengan cepat di kasurnya, matanya masih setengah terbuka, menyesuaikan diri dengan ruangan yang terang benderang. Filia melirik perlahan ke arah kakaknya yang sudah sangat rapi dengan seragam putih-birunya yang baru. Rambutnya disisir ke belakang dan baju seragamnya dimasukkan ke celana.
"Kenapa? keren, ya?" Stevan tersenyum sombong saat menyadari bahwa adiknya memperhatikan penampilannya yang baru. Filia memang sedikit pangling dengan penampilan kakaknya. Kakaknya itu kelihatan jauh lebih segar dan lebih besar dibandingkan beberapa bulan lalu saat masih duduk di bangku kelas 6 SD. Namun, Filia merasa lebih baik terus diejek 'anak cengeng' dibandingkan harus memuji penampilan kakaknya. "Culun, ah." Filia mengalihkan pandangannya dan berdiri dari tempat tidurnya, sambil berjalan keluar kamar. Stevan tidak puas, namun memutuskan untuk menghentikan candaannya dan mengikuti adiknya dari belakang. "Cepet mandi, Mama udah buat sarapan, tuh."
"Iya, kakak cerewet." Filia berjalan terus tanpa menoleh.
"Selamat pagi, Cantik. Kok mukanya cemberut begitu?" Anita Clemens menyapa anaknya dari dapur sambil memotong-motong sayuran. Parasnya sangat cantik dan ramah, wajahnya terlihat jauh lebih muda dibandingkan wanita paruh baya lainnya. Rambutnya panjang dan lurus, diikat ke belakang. Tubuhnya yang tinggi dan ramping mendukung kelincahannya dalam memasak.
"Kakak nyebelin sih, Ma. Bangunin Filia pagi-pagi sekali."
"Jangan begitu dong, Filia. Hari pertama masuk sekolah harus bangun pagi supaya bisa banyak persiapan. Nanti Mama dandani kamu, deh."
Filia langsung ceria. Dia memang sudah tertarik untuk merias wajah karena mengagumi ibunya yang semasa mudanya adalah seorang model. Tidak setiap hari Filia diperbolehkan untuk berdandan saat ke sekolah, walaupun hanya memakai bedak foundation saja. "Asiik ..." sahutnya girang sambil berjalan melompat menuju ke kamar mandi.
"Dih, centil banget." Stevan berkomentar karena tingkah adiknya.
"Kakak, kesini dong, bantu Mama siapin sarapan."
"Iya, Ma ..."
Salah satu pintu kamar terbuka, Hans Clemens keluar dari kamarnya, memakai kemeja rapi dan berdasi, selayaknya seorang dosen saat mengajar mahasiswa. Ia memakai kacamata dan berjanggut tipis. Tubuhnya tinggi besar dan terlihat kekar. Hal yang mencerminkan usianya hanyalah rambutnya yang sudah mulai memutih.