"Fi... Filia!"
Filia terperanjat, terbangun dari tidur siangnya. Dengan cepat dia tersadar bahwa ini masih tengah hari, jam kerjanya.
"Ya ampun, Fi... mata Lu itu, lho. Mirip panda. Tadi malam nggak bisa tidur?"
Filia duduk tegak di kursi kasir, mengucek matanya dan melihat ke sekeliling. Ini bukan di rumahnya atau di kelasnya, tetapi tempat kerjanya. Sebuah kafe yang sejuk dengan alunan musik yang lembut membuatnya sering terlelap di tengah pekerjaannya saat sepi pengunjung. Pikirannya masih kosong, berusaha mengingat bahwa dia bukan lagi bocah kelas 4 SD yang diantar ibunya ke sekolah.
"Tidur, kok... tapi nggak lama. Gue keasikan nyari kamar kos di internet sampai nggak kerasa udah pagi." Filia meregangkan badannya, berusaha mengusir kantuknya.
"Awas lho, kalau tidur lagi nanti gue laporin ke nyokap."
"Ih, jangan lah, Rin. Dipotong nanti gaji gue."
Rambutnya pendek sebahu dan bergelombang, kacamatanya bulat dan tingginya hampir sama dengan Filia. Dia adalah Sherin, anak pemilik kafe sekaligus sahabat Filia sejak SMP.
"Iya, iya. Bercanda. Kenapa Lu mau pindah kos lagi, Fi?"
"Ya... gue mau cari yang lebih murah aja. Gue 'kan harus nabung, buat mikirin masa depan. Hehehe."
Sherin membalas dengan senyuman, tetapi Filia tidak tahu bahwa ada rasa iba dan khawatir di balik senyuman sahabatnya itu.
"Ya udah, ayo siap-siap. Sebentar lagi jam makan siang, pasti rame. Cuci muka dulu sana, Fi."
Filia pergi ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Rambut panjangnya dirapikan dan diikat ke belakang, kemudian ia membetulkan make up-nya. Foundation cream, lipstick, dan concealer untuk menyembunyikan kantung matanya.
Ia memandangi pantulan dirinya di cermin. Badannya pendek. Ia tahu ayah dan ibunya memiliki tinggi badan di atas rata-rata, dan ia bingung mengapa tidak seperti mereka. Wajahnya kecil, warnanya cerah.
"Cantik," pikirnya. Bukan sedang menyombongkan diri. Begitulah orang-orang sering menyebut dirinya, mulai dari teman-teman perempuannya dulu saat sekolah dan beberapa teman laki-lakinya yang berusaha mendekatinya. Kata itu jugalah yang merupakan panggilan sayang dari ibunya.
"...Kenapa jadi ingat Mama, ya?" Filia berbisik pada dirinya sendiri, mengingat mimpinya tadi yang adalah kejadian yang sudah lama sekali. Namun ia mengesampingkan pikirannya, menolak untuk tenggelam dalam nostalgia terlalu lama. Ia juga tidak mau dimarahi sahabatnya itu karena hilang dari kafe terlalu lama. Ia memutuskan untuk cepat kembali.
"Fi !!" Sherin teriak memanggil. Kursi-kursi di dalam kafe itu sekarang dipenuhi para pelanggan yang duduk sambil mengobrol, menunggu pesanan. Beberapa hanya duduk diam dan memandangi layar ponselnya.
Filia baru keluar dan masih berdiri di depan pintu kamar mandi. "Iya... sabar!" Ia berjalan cepat menuju pos kerja khusus untuk dirinya.
"Fi, Lu kasir dulu, ya. Gue bantu di belakang. Itu enam customer, pesanannya udah gue input. Jangan lupa senyum!"
Sherin terburu-buru ke dapur belakang kafe. Filia melihat pesanan para pelanggan di monitor komputer di kasir dan menjadi tidak heran akan sikap Sherin yang terburu-buru. 2 Orange juice, 4 Caramel coffee, 2 family snack platter. Semuanya adalah pesanan yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dibuat.
Filia berpikir sejenak, apakah ia harus ikut ke belakang dan membantu? tetapi, kasir kafe akan kosong dan pembeli yang baru datang akan kesulitan memesan.
Selama bekerja di kafe milik keluarga sahabatnya, Filia merasa terlalu dispesialkan. Dia diperlakukan seperti teman yang sedang bermain saja dan jarang dimintai tolong untuk mengerjakan hal yang berat dan sulit, sehingga dia selalu berinisiatif untuk membantu pemilik kafe, orangtua sahabatnya itu.
Pintu kaca kafe itu dibuka dari luar dan calon pembeli baru masuk ke dalam. Filia mengurungkan niatnya untuk ke dapur kafe dan memutuskan untuk mengikuti instruksi sahabatnya.
"Mbak, Es kopi susu satu, ya."