"Makasih, Mbak. Minta bintang limanya ya."
"Iya, Mas. Makasih ya."
Vina turun dari motor dan mengembalikan helm kepada driver ojek online yang dipesannya. Ia melangkah masuk melalui gerbang masuk rumah bimbingan belajar yang sudah tua itu, melewati para penjual jajanan gerobak yang dipadati anak muda. Pintu rumah yang besar itu selalu terbuka lebar, dilewati banyak orang yang keluar-masuk.
"Eh, Mbak Vina. Jemput suami ya, Mbak?" Pekerjaan sang Resepsionis itu tidak membuatnya lupa menyapa istri rekannya dengan ramah. Vina mengangguk dan membalas senyumannya.
"Iya. Mas Stevan belum pulang, kan?"
"Belum, baru bubar ini. Disamper aja Mbak, di ruang kelas delapan."
"Oke. Makasih, Mbak."
Langkah Vina santai namun cepat, ia ingin segera bertemu suaminya. Ruang kelas demi ruang kelas dilewatinya, lorong yang ramai itu sudah tidak asing dan menarik lagi baginya. Alih-alih menghampiri suaminya ke ruang kelas, suaminyalah yang melihatnya dahulu dari kejauhan lorong itu.
"Vina!"
Dialah suami Vina, salah satu staf pengajar di rumah bimbingan belajar. Stevan Clemens namanya. Tubuhnya tinggi besar, rambutnya hitam legam dan tebal seperti kacamatanya yang berwarna hitam dan kacanya yang tebal. Warna kulitnya cerah seperti ibunya dan janggutnya yang tipis kasar membuat parasnya sekilas sangat mirip dengan ayahnya.
Stevan berjalan lebih cepat, langkahnya yang lebar membuat jarak yang ia tempuh untuk mendekati istrinya terasa sangat pendek.
"Udah selesai jalan bareng temenmu? Kenapa nggak langsung pulang?"
Vina tersenyum riang, merangkul lengan suaminya. "Iya. Tadi ketemuan di Kafe Kopiku. Arah pulang 'kan lewat sini. Jadi aku jemput Mas aja sekalian."
Stevan tersipu. Suasana ini mengingatkannya pada masa sebelum mereka mengikat janji suci pernikahan. Vina dulu sering menghampirinya ke tempat ini setelah jam kerja Stevan untuk berkencan atau saat siang hari hanya untuk makan bersama. Kenangan akan hal kecil yang dengan mudah membangkitkan suasana mesra mencerminkan umur pernikahan mereka yang masih sangat muda.
"Kopiku? Kafe baru, ya? Dimana tuh?"
"Di tengah kota, Mas. Udah lama, kayaknya. Aku juga diajak temenku tadi. Emang oke sih, tempatnya. Kapan-kapan kita kesana bareng, ya."
"Iya, Sayang."
Mereka berjalan menuju tempat parkir motor dengan santai, terus bergandengan tangan sambil mempercakapkan hal ringan lainnya, tidak malu menunjukkan kemesraannya. Orang sekitar yang berpapasan dan melihat mereka memang kebanyakan adalah rekan kerja Stevan, yang hanya menyapa dan mengguraukan kemesraan pasangan itu saat melihat keduanya.