Bangunan itu berupa gedung tua dengan gaya arsitektur yang antik namun terawat. Bagian dalamnya redup namun hangat. Hanya cahaya matahari pagi yang menjadi penerang, mengintip melalui jendela-jendela kaca besar yang jumlahnya puluhan pada lorong itu. Hanya tampak beberapa orang lewat dengan kesibukannya masing-masing sambil memakai ransel dan membawa setumpukan kertas yang terlihat seperti hal yang penting.
Filia berjalan menyusuri koridor asing itu dengan modal keberaniannya semata. 'Kenekatan' dapat menjadi kata yang lebih tepat. Langkahnya cepat, namun hatinya ragu. Ia berjalan lurus, namun tidak tahu kemana menuju. Ia melihat arlojinya, tepat jam 8 pagi. Ia melihat ke sekeliling, aktivitas kampus pagi hari yang sibuk itu dan hampir teralihkan dari fokusnya untuk mencari sebuah ruangan.
'Tata Usaha Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam', tulisan itu terukir pada kayu panjang yang dipaku di atas pintu yang besar. Tidak sulit bagi Filia untuk menemukan ruangan itu, meski harus bertanya kepada setiap wajah asing yang berpapasan dengannya mengingat luasnya kampus tua itu dan jalannya yang berliku-liku.
Filia melangkah masuk. Ia tidak tahu dimana lagi ia mungkin dapat bertemu atau melihat atau setidaknya mendapat informasi tentang ayahnya selain di tempat ini, tempat ayahnya bekerja sebagai dosen. Ia melihat beberapa orang bekerja di balik jejeran meja-meja tata usaha dengan tumpukan buku dan berkas-berkas, terlihat sibuk di pagi hari. Filia mendekati seorang wanita paruh baya yang paling dekat dengan pintu masuk, yang terlihat paling tenang dibandingkan rekannya yang lain.
"Permisi, selamat pagi, Bu. Saya ingin mencari Pak Hans, dosen kimia. Apakah hari ini ada?"
Ibu-ibu berkacamata itu melirik wajah Filia yang tenang dan yakin, memperhatikannya sejenak, kemudian malah terlihat bingung dan keheranan.
"Pak Hans? Hans Clemens?"
"Iya. Hans Clemens."
Ibu itu diam sejenak dan menoleh kepada rekan kerja di sampingnya. Rekan tata usaha di sampingnya itu balas menatap ibu itu namun tidak berkata apa-apa, seperti sama-sama mengetahui suatu hal yang tabu untuk dibicarakan.
"Maaf, Mbak ini siapanya Pak Hans, ya?"
"Saya anak..."
Dalam sepersekian detik itu Filia sadar dan paham betul bahwa terlalu banyak masalah yang dapat muncul jika ia mengaku hal yang sesungguhnya. Ia mengingat rasanya ditatap dengan penuh penghakiman oleh orang-orang di sekitarnya.
"... anak bimbingan beliau waktu dulu skripsi."
Hanya kebohongan itu yang terbesit dan dapat ia katakan dengan gesit. Sebagian dari hatinya terasa lega karena telah terhindar dari salah bicara, sebagian lagi terasa sakit karena ia bahkan tidak dapat mengaku anak dari ayahnya sendiri.
"Oh, Mbak ini alumni ya? Belum dengar kabar tentang Pak Hans?"
"Kabar apa ya, Bu?" Filia sudah berfirasat tidak enak, namun informasi sekecil apapun tentang keluarganya sangat berharga saat ini.