Vina melihat ke sekeliling, ke setiap sudut ruangan itu. Semua telah tertata rapi, bersih, wangi. Ia menghela napas, berbangga dengan lega. Pemandangan ruang keluarga itu menghibur hatinya, melupakannya pada jerihnya. Melihat hasil pekerjaan sendiri terkadang memuaskan, meskipun kecil. Pekerjaan rumah tangga ternyata memerlukan ketekunan dan kesabaran, dan itulah yang ia pelajari setelah seharian ini melakukannya tanpa bantuan.
Ia duduk di sofa tua di tengah ruang keluarga itu dan minum segelas air. Matanya memandang ke luar jendela. Di luar sudah gelap, sinar matahari mulai meninggalkan cakrawala. Sudah waktunya suaminya akan pulang. Sekali lagi Vina bersyukur semuanya telah selesai ia kerjakan. Ia ternyata bisa, meskipun tanpa bantuan asisten rumah tangga. Ia tidak akan malu saat suaminya pulang dan melihat semuanya.
Bel listrik rumah itu berbunyi. Ada orang di depan rumah dan Vina tidak terpikir orang lain yang datang selain suaminya sendiri. Ia segera berdiri dan menuju pintu depan dengan girang, membukakan pintu untuk Stevan.
"Halo, Mas." Vina menyambut suaminya dengan hangat, mereka bertukar senyuman. Suaminya terlihat lelah namun terpancar semangat setelah ia melihat istrinya. Stevan melangkah masuk dan Vina menutup pintu di belakangnya.
"Gimana? nggak ada masalah apa-apa, kan?"
"Kan harusnya aku yang nanya Mas, gimana hari ini kerjanya?"
"Lancar, kok. Aku cuma khawatir sama kamu di rumah, sama Papa juga, takut ada apa-apa."
"Nggak ada apa-apa kok, Mas. Tadi siang Papa mau makan. Memang agak lama, tapi makannya sampai habis."
Vina berharap hal itu adalah kabar baik untuk kecemasan suaminya. Vina sendiri merasa sangat bingung saat melihat mertuanya itu terlihat tambah kesulitan untuk memegang sendok dan garpu dengan benar saat makan siang bersamanya. Vina takut mertuanya akan bereaksi dengan emosional jika ia menawarkan bantuan secara berlebihan.
"Itu, Mas bawa apa?"
Vina menunjuk pada sebuah kantong plastik yang masih terus dipegang suaminya.
"Oh, ini nasi kuning yang dijual di dekat kampus tempat kerja Papa dulu. Mas ingat, dulu Papa sering beli ini untuk sekeluarga..."
Terdapat nada keraguan dalam ucapan Stevan di akhir. Vina mengerti bahwa sejak dulu Stevan tidak nyaman membicarakan tentang masa lalu keluarganya, meskipun tidak pernah mengerti mengapa. Ia hanya selalu berusaha memahami saja tanpa banyak mempertanyakan. Mungkin membicarakan hal tersebut mengingatkan Stevan akan ibu dan adiknya yang sudah meninggal, Itulah yang Vina selalu pikirkan setiap melihat suaminya tidak ingin membahas tentang keluarganya di masa lalu.
"Oke, sini, aku siapin dulu ya. Mas tunggu dulu aja ya, duduk dulu. Nanti aku panggil Papa juga."
"Vin, Mas aja yang panggil Papa."
"Oh...oke, Mas."
Stevan tidak berbohong saat ia mengatakan bahwa ia mencemaskan ayahnya. Kemarin malam, ia meninggalkan ayahnya dalam suasana yang tidak enak. Vina mengangguk perlahan, mengerti apa yang dipikirkan suaminya itu.
"Pa...?"
Kali ini Stevan memanggil ayahnya dengan lebih lembut dan mengetuk pintu kamar itu dengan hati-hati. Tadi malam Stevan dan istrinya menghabiskan waktu cukup banyak untuk belajar tentang menangani ODD (Orang Dengan Demensia) secara emosional. Ia tidak ingin mengulang kesalahan seperti tadi malam, melampiaskan amarah kepada ayahnya itu.
Seperti malam kemarin, tidak ada jawaban dari dalam. Tidak ada sedikitpun suara yang terdengar. Stevan kadang bertanya-tanya apakah ayahnya masih dapat mengerti jika dipanggil. Ia terpaksa langsung membuka pintu kamar itu lagi. Toh, ayahnya itu tidak pernah keberatan sebelumnya. Pintu itu tidak dikunci.
Kamar itu gelap. Stevan menyalakan lampu di samping pintu kamar, dan ia menemukan ayahnya dalam posisi yang tidak biasa, tidak nyaman.
Hans terkapar di lantai di samping tempat tidurnya, mulai dari kepala hingga ujung kaki kiri. Mukanya menghadap lantai, kaki kanannya masih ada di atas tempat tidur di bagian pinggir dan terbelit oleh selimutnya yang berantakan. Terdengar suara erangan kecil darinya seperti sangat kesakitan. Jari-jari tangan kirinya bergerak menggeliat dengan kaku, seolah berteriak meminta tolong.