Tiga jam yang lalu...
Hari sudah mulai gelap, Kafe Kopiku sudah tutup. Sherin berjalan memasuki rumah tua di pinggir jalan gang sempit itu, menyusuri setiap sudutnya, menuju sebuah kamar. Sebuah kamar di dalam rumah indekos tua, besar, dan sederhana tempat sahabatnya tinggal. Ruang tamu rumah itu penuh dengan perabotan tua, seperti meja, kursi, dan lemari kayu yang tidak kotor namun berdebu tipis. Di tengah-tengah rumah itu terdapat taman yang besar, yang dapat terlihat oleh orang-orang yang tinggal di kamar-kamar kos yang mengelilinginya lewat jendela. Namun, taman itu terlihat tidak terawat dengan rerumputan liar yang tinggi.
Sherin menaiki tangga besi itu dengan perlahan tanpa berpegangan. Memang terlihat kokoh, namun bagian pegangannya sudah berkarat. Kamar Filia terletak di lantai dua, yang paling ujung. Dalam hatinya, ia setuju keputusan Filia untuk pindah kos, yang diceritakan sahabatnya itu kemarin. Namun, alasan Filia berencana untuk pindah - karena ingin mencari kamar indekos yang lebih murah dari tempat ini - membuat Sherin sedikit terenyuh. Mungkin, saat Sherin pulang nanti, ia akan meminta ibunya menaikkan gaji untuk sahabatnya.
"Fi, Lu di dalem, kan?"
Sherin mengetuk pintu itu tiga kali. Ia tidak menunggu lama sampai sahabatnya itu membukakan pintu. Filia memakai kaus santai dan celanda pendek, rambutnya terlihat acak-acakan. Wajahnya seperti orang yang baru saja bangun tidur. Sherin sedikit pangling dan terkejut. "Sudah pasti ada yang salah, ini," pikirnya.
"...Sini masuk, Rin. Maaf, gue belum beres-beres."
Sherin melangkah masuk ke kamar itu. Ini adalah kesekian kalinya ia datang bermain ke kamar Filia, namun biasanya keadaannya tidak berantakan seperti yang dilihatnya saat ini. Kamar itu berukuran tiga kali empat meter persegi, cukup luas untuk satu orang. Perabotan yang memakan ruang hanyalah tempat tidur, lemari kayu, dan meja kayu yang dipenuhi barang-barang milik Filia. Keadaan kamar itu tidak jauh berbeda dengan ruang tamu dan taman rumah itu. Tidak buruk, namun tidak rapi.
"Fi, Lu beneran lagi sakit, ya?"
"Nggak kok, Rin."
Pertanyaan itu dijawab oleh Filia dengan yakin dan cepat, terlalu cepat, hingga membuat Sherin curiga. Sherin juga tahu bahwa sahabatnya itu biasanya tidak tahan melihat hal yang berantakan. Maka, kondisi kamarnya itu bisa jadi mencerminkan kondisi hatinya.
"Kalo gitu, kenapa nggak dateng kerja hari ini? nggak ngabarin gue, lagi."
"...Maaf, besok pasti gue masuk kerja, kok."
Sherin sedikit kesal dengan jawaban setengah hati itu. "Filia, Lu serius mikir gue datang ke sini sebagai anaknya majikan yang mempekerjakan Lu di kafe, hanya karena Lu nggak masuk kerja hari ini? Gue itu temen Lu. Gue mau tahu Lu kenapa."
Filia memunggungi Sherin, tidak mengindahkan pernyataan dan pertanyaan itu, seolah tidak dapat mendengar perkataan sahabatnya barusan. Sherin juga tahu pertanyaan formalitas itu tidak perlu dijawab. Ia tahu Filia sedang dalam masalah. Ia tahu masalah itu juga yang membuat Filia tidak masuk kerja hari ini. Yang menjadi permasalahan adalah Sherin tidak tahu masalah apa yang membuat pikiran, hati, dan kamar sahabatnya menjadi berantakan.
"Fi, Lu mau cerita?"
"Ceritanya panjang, Rin."
"Gue bakal denger semuanya. Kasih gue kesempatan ngebantu Lu."