Tidak ada lagi yang tersembunyi, semua hal Filia ceritakan. Dari pertemuannya yang tidak sengaja dengan kakak iparnya kemarin, keadaan ayahnya, alasannya tidak masuk kerja hari ini setelah hatinya kacau sepulang dari kunjungannya ke kampus ayahnya bekerja dahulu, sampai segala yang terjadi di masa lalu, yang membuatnya bergalau hati seperti orang depresi.
Kenangan yang membawa nyeri dan air mata membuat Filia memerlukan waktu lebih banyak untuk bercerita. Sherin hanya diam dan mendengar cerita itu di samping Filia, sesuai janjinya. Ia sendiri tidak dapat berbuat banyak selama dirinya terhanyut dalam cerita itu dan termangu-mangu karena masa lalu sahabatnya yang lebih tragis dari yang pernah ia ketahui dan dapat bayangkan. Tragedi masa lalu itu kini terungkap dari cerita Filia sendiri. Namun, hal itu tidak berarti masa depannya menjadi semakin jelas.
"Maaf, gue harus bohong sama Lu selama ini."
"Gue nggak pernah merasa dibohongi sama Lu, Fi. Gue ngerti, Lu pasti susah cerita tentang masalah sesulit ini."
"...Makasih, Rin."
Selama ini, Sherin hanya mengetahui Filia pergi dari rumahnya, dari keluarganya karena masalah yang tidak pernah ia ketahui, dan tidak pernah ia tanyakan pada sahabatnya dengan alasan privasi.
Filia menutupi matanya dengan tisu yang sudah basah, yang dari tadi digenggamnya. Di sebelahnya tampak tumpukan tisu bekas yang dibasahi air matanya, yang sudah tidak terhitung jumlahnya.
"Jadi... malam itu, waktu Lu datang ke rumah gue... Lu diusir?"
"Iya, gue bukan kabur, gue... diusir."
Pada tengah malam hari itu, lima tahun yang lalu, Filia datang ke rumah Sherin yang cukup jauh dari rumahnya. Dari rumahnya yang berada di pinggir kota hingga rumah sahabatnya di ujung yang lain dari kota yang sama, memohon diizinkan menginap beberapa malam. 'Gue kabur dari rumah, ada masalah.' Hanya jawaban itu yang dapat Filia berikan saat itu kepada Sherin, dan jawaban itu yang Sherin berikan untuk meminta pengertian orangtuanya untuk menaruh belas kasihan pada Filia untuk beberapa saat.
"Gue cuma bisa ke tempat Lu malam itu. Keluarga kita nggak saling kenal, kita juga beda SMA."
Sherin mengingat bahwa dalam beberapa hari Filia tinggal di rumahnya saat itu - sebelum Filia memilih untuk mencari kamar sewa - belasan panggilan masuk ke handphone Filia dalam satu hari, ia mengetahui dari getarannya. Sherin mengira bahwa keluarga Filia tentu kewalahan dengan tingkah sahabatnya yang kabur dari rumah itu. Setelah mengetahui faktanya saat ini, hanya satu pertanyaan yang terlintas di benaknya.
"Fi... kenapa Lu nggak berusaha untuk pulang?"
Pertanyaan itu terdengar bodoh, tentu tidak semudah itu untuk pulang, dan semua tidak akan selesai hanya dengan pulang, Sherin tahu. Yang ia inginkan adalah Filia mengingat bahwa ia tidak benar-benar diusir.
"Gue itu udah diusir, Rin... Gue nggak layak lagi disebut anak mereka."
Bayang-bayang akan setiap pasang mata yang memancarkan kekecewaan itu menghantuinya setiap ia berpikir untuk kembali ke rumah itu, seperti menarik dirinya menjauh, menyatakan dirinya sendiri terlalu najis untuk pulang.
"Walaupun Papa dan Mama Lu udah nyariin Lu?"
"Mereka nggak nyari gue, Rin."
"Kalau gitu, panggilan telepon siapa yang Lu abaikan terus waktu itu?"