Filia kembali pada posisi kerjanya di balik meja kasir itu. Dia sudah terlihat lebih tenang, tegak, dan tidak murung lagi. Bercerita, menumpahkan segala pikirannya yang kusut dan menjelaskan tentang perasaannya di dalam kata-kata ternyata cukup menolong untuk mengatur hatinya, lebih dari yang ia sangka. Meski begitu, ia tidak mungkin tidak terus memikirkan dan dibuat tegang oleh rencananya untuk nekat datang ke rumah itu sore ini sepulang kerja. Dia tahu dirinya yang pengecut akan menjadi tambah takut dan mungkin melupakannya sama sekali jika rencana itu ditunda tanpa kepastian.
Namun, kepastian dan keberanian hatinya itu teruji dengan pertemuan dengan wanita yang berdiri di hadapannya. Seorang wanita yang baru dua hari lalu datang ke Kafe Kopiku itu - kakak iparnya - sekarang datang sendirian dan berdiri lagi di hadapannya. Filia kembali terdiam dalam keheranan dan kegugupannya, seperti terjebak dalam sebuah deja vu.
"Mbak?" Vina ikut terheran dengan reaksi Filia yang tetap sama seperti dua hari yang lalu, setiap kali kasir Kafe itu melihat dirinya. Kali ini, panggilan sapaan itu berhasil memecah kegugupan Filia.
"Y-ya? Maaf, kenapa, Kak?"
"Mbak," Vina menarik napas cukup panjang, entah karena kesal harus mengulangi pertanyaan itu sebelum Filia bertindak seperti patung atau hendak memberanikan dirinya sekali lagi.
"Betulkah nama Mbak... Filia Clemens?"
Filia menunduk, menyembunyikan ekspresinya ketika namanya itu disebut, terlihat tidak nyaman sama sekali. Reaksi itu sedikit banyak mirip dengan Stevan yang akan memalingkan wajahnya jika merasa malu atau marah dengan lawan bicaranya. Vina mulai menyadari hal itu.
"Betul. Saya... Filia Clemens."
***
Mereka duduk bersama, berhadapan di meja pelanggan. Vina memesan secangkir coklat panas, minuman yang sama dengan yang dia pesan dua hari yang lalu dan meminta waktu Filia untuk berbincang. Perkenalan itu sangat singkat. Mereka hanya bertukar nama. Mereka masing-masing tahu dengan siapa mereka berbicara. Seorang kakak ipar dan adik ipar.
Vina memandangi wajah adik iparnya sendiri di hadapannya. Cantik. Namun, wajahnya memang sangat mirip dengan suaminya sendiri. Filia merasa tidak nyaman sama sekali dan berusaha menghindari kontak mata. Vina hampir-hampir tidak mempercayai semua hal gila yang dia lakukan ini. Menemui seseorang yang selama ini ia sangka sudah lama tiada, yang faktanya duduk di hadapannya dan terlihat sehat. Lebih-lebih ia hampir tidak dapat, dan tidak mau mempercayai bahwa suaminya telah berbohong selama ini. Semua reaksi tidak biasa dari Stevan ketika mendengar nama itu ternyata disebabkan kebohongannya sendiri.
Keheningan itu cukup lama terjadi di antara mereka, membuat suasana yang tidak dapat disebut menyenangkan. Semakin lama Vina terdiam dan meneliti gerak-gerik Filia, semakin ia yakin, yang ia tatap adalah memang adik iparnya, yang ternyata masih hidup. Satu pertanyaan yang terus terulang di benak Vina : "Ada apa dengan Mas Stevan dan adiknya ini?"
"Maaf, mungkin kedatangan saya ini membuat kamu nggak nyaman."
"Bukan begitu, Kak," Filia terperanjat dengan pecahnya diam itu. "Aku cuma kaget ... Kakak tiba-tiba bisa tahu aku. Padahal, kemarin ..."
"Begitu ya," Vina mulai menjelaskan. "Kakakmu tidak pernah cerita apa-apa mengenai kamu. Saya memang merasa bahwa wajahmu agak familier, saat datang kesini dua hari yang lalu. Kemudian kemarin malam ... saya menemukan foto ini."
Vina menunjukkan foto itu kepada Filia. Ia melihat foto itu hanya sebentar kemudian memalingkan pandangannya ke samping, seperti tidak ingin melihatnya terlalu lama. Vina peka akan hal tersebut dan bertanya balik,
"Tapi, kamu tahu wajah saya dari mana?"
"Aku ... lihat dari foto yang di-upload oleh temannya Kak Stevan di media sosial, waktu pernikahan Kakak dan Kak Stevan."
"Begitu, ya."
Keheningan tidak dapat terhindarkan kembali. Mereka masing-masing hanya menatap minumannya di atas meja. Vina yang biasanya jago berbasa-basi juga dibuat bingung oleh suasana macam ini. Vina ingat dia tidak boleh berlama-lama. Sekarang adalah waktunya untuk berbicara langsung ke inti.
"Filia ... apakah benar kamu yang menelepon Mas Stevan, sore-sore dua hari yang lalu?"
Filia mengangguk. Hal itu sedikit menjelaskan tingkah aneh Stevan yang dilihatnya oleh Vina pada hari itu. Namun, alasan kebohongan suaminya itu sama sekali belum dapat ia mengerti. Sama sekali belum ada penjelasan yang masuk akal bagi Vina dari hubungan Stevan dan adiknya ini.
"Hari itu, aku nggak sengaja dengar percakapan Kakak yang menyebut-nyebut tentang Papa ... yang demensia. Aku khawatir, aku bingung harus bagaimana. Aku langsung telepon nomor Kak Stevan pakai nomor handphone-ku yang baru. Semua nomor lamaku, semua akun media sosialku sudah di-block sama Kak Stevan, dan aku nggak berani untuk menghubungi dia lagi."