Pertemuan
.
.
.
Kamu adalah ingatanku...
Semua yang ada padamu...
Terekam jelas dalam indraku..
.
.
.
.
Cessa mendorong troli sambil memilih-milih apa yang akan ia beli. Saat ini ia sedang belanja bulanan. Sudah lebih dari tiga tahun ia hidup sendirian semenjak peristiwa di Jepang kala itu. Tentu saja Cessa menyesal namun dia mau bagaimana lagi. Ini adalah hukuman karena bertindak ceroboh. Dulu ia lebih memilih Atta dan meninggalkan Alwan karena ia cemburu dengan Indira, karenanya Alwan kecelakaan disaat menyusulnya dengan Atta yang notabenya dulu menyukainya. Suaminya Alwan lupa ingatan bahkan tidak mengingatnya sama sekali. Dulu ia kira Alwan selingkuh dengan Indira mengingat bukti yang diperlihatkan Atta. Sedangkan Atta pria itu di hukum ayahnya diasingkan ke Amerika. Masih baik kakek dan ayahnya membiarkan ia bekerja di perusahaan. Ia menjadi sekertaris kakeknya. Kadang ia penasaran kenapa Alwan tak kunjung kembali. Apakah separah itu penyakitnya. Hingga harus menetap di Jepang.
Cessa mengambil pembalut yang sedari tadi dicarinya. Persediaannya sudah habis. Berjalan beberapa langkah ia mendapati rak tersebut. Ia mendesah melihat pembalut berada di rak paling atas. Badannya yang tidak terlalu tinggi tentu saja membuatnya kesulitan. Ia ingin minta bantu pegawai disana namun melihat hanya ada pegawai laki-laki. Ia mengurungkan niatnya. Kemudian ia berjinjit untuk menggapainya. Ia hampir saja berhasil menggenggamnya. Benda tersebut jatuh dan menggelinding lebih dahulu.
Cessa mendesah, mau tidak mau ia harus mengambil benda yang jatuh itu. Tubuhnya tertunduk ingin mengambil. Namun sepasang sepatu hitam menginjak benda yang dicarinya. Pipi Cessa memerah karena tahu bahwa orang yang menginjaknya adalah laki-laki. Kenapa bisa ada pria di tempat sakral wanita? Batin Cessa. Mau di taruh dimana wajahnya untuk berhadapan dengan orang itu.