Lea membiarkan kamarnya redup. Sebenarnya, dia masih enggan tidur meski badannya sudah sangat lelah karena harus bekerja dua shift hari ini. Dia memilih duduk di lantai yang dilapisi karpet bulu warna putih yang sudah sedikit kecoklatan. Kakinya menekuk dan tangannya merangkul kedua kakinya itu. Pandangannya tertuju pada layar ponsel yang menyala. Beberapa menit yang lalu, dia membuka ponsel yang ternyata masih kosong isinya dan baru. Tidak ada file tersimpan kecuali yang sudah melekat pada ponsel. Bagaimana bisa orang yang baru saja bertemu dengannya tadi pagi, meminjamkan ponsel baru padanya. Bahkan, Lea juga tidak tahu apakah dia akan bertemu lagi dengan sosok bernama Benny itu.
Ada sebuah perasaan janggal yang dirasakannya sekarang. Apakah dia pantas menerima kebaikan laki-laki itu? Apakah Benny memiliki maksud lain dari kebaikannya? Apa yang menimpa Lea membuatnya enggan mempercayai orang dengan mudah.
Lea kemudian meraih ponsel tersebut dan menekan beberapa nomor. Dia mencoba untuk menelepon Ibunya. Meski perasaan ragu-ragu masih tertanam pada dirinya, tetapi dia benar-benar membutuhkan ponsel ini untuk menghubungi Ibunya yang tinggal cukup jauh. Beberapa kali terdengar nada sambung sampai akhirnya terdengar suara Ibunya di seberang.
“Kamu kemana saja sih, Lea? Ibu sampai tidak bisa menghubungimu.” Suara Ibu terdengar berbisik.
“Ponsel Lea rusak, bu. Ini juga pakai ponsel teman.” Jawab Lea. Menyebutkan Benny sebagai teman, Lea tidak yakin kalau hubungan mereka sudah bisa disebut sebagai pertemanan.
“Ooh, Ibu khawatir tadi.” Ibu masih berbisik.
“Narayan tidur, bu?” tanya Lea kemudian.
“Iya. Baru saja tidur. Dia sedang demam makanya agak rewel.”
Lea terkejut mendengar Narayan demam. Pantas saja perasaannya seharian tidak enak. Ternyata karena anak laki-lakinya sedang demam.
“Tapi sekarang sudah agak turun. Kamu tenang saja. Tidak perlu pulang ke Bandung.”
“Benarkah, bu?” Lea menggigit bibirnya sendiri. Dia selalu merasa menjadi Ibu yang buruk untuk Narayan karena tidak pernah berada di sampingnya. Bahkan, dia tidak tahu saat Narayan mulai merangkak, berjalan, atau memanggil ‘Mama’.
“Iya. Tadi ibu telepon juga mau kasih kabar kamu saja. Tapi sekarang sudah turun, jadi kamu tidak perlu pulang.”
“Baiklah, bu. Kabari Lea terus, ya.”
“Pasti. Kamu juga jaga diri kamu. Jangan terlalu dipaksakan bekerja.”
“Iya, bu. Lea tutup dulu teleponnya. Mungkin minggu depan, Lea akan pulang.”
“Iya, Nak.”
Lea kemudian menekan ikon berwarna merah di ponselnya. Dia kemudian meletakkan lagi ponsel mewah yang didapatnya dari Benny. Dia tidak pernah berpikir kalau akan bisa menggunakan ponsel semahal ini. Selama ini, dia selalu berusaha menjaga ponsel usangnya untuk tetap menyala, meski kadang membuatnya emosi karena loadingnya yang terlalu lama, atau harus menghapus beberapa aplikasi agar bisa menyimpan gambar Narayan. Tetapi, dia tidak punya pilihan lain. Gajinya yang pas-pasan itu hanya cukup untuk menyewa kost, makan sehari sekali, dan mencukupi kebutuhan Narayan. Dia bahkan tidak sempat menabung.
Dia menarik dirinya ke tempat tidur dan merebahkannya. Satu tangannya menarik selimut hingga sebatas leher. Dia memiringkan badannya. Dia selalu saja tidur dengan posisi miring seperti ini. Kadang, lehernya sampai sakit di pagi hari. Tetapi, dengan cara seperti ini, dia baru benar-benar bisa tidur dan tidak bermimpi buruk. Seolah, miring ke samping adalah jimat yang melindunginya dari mimpi yang mengerikan. Perlahan, matanya terpejam dan larut dalam dunia mimpinya.
-00-
Langkah Lea lambat menyusuri deretan gerai ponsel. Pandangannya beredar mencari toko yang dicarinya. Sementara tangannya menggenggam secarik kertas yang dituliskan Benny kemarin. Karena hari ini dia sedang libur, dia memutuskan untuk memperbaiki ponselnya yang rusak. Hingga akhirnya, langkahnya terhenti di depan sebuah toko servis ponsel. Toko yang hanya berukuran 3x3 itu tampak penuh dengan beberapa barang. Seseorang berambut panjang dan diikat ke belakang tampak asyik memperbaiki ponsel yang tergeletak di meja.
“Maaf, Mas. Apakah di sini bisa servis handphone?”
Laki-laki itu mendongak dan menatap Lea sesaat, lalu beranjak dari kursinya.
“Handphonenya rusaknya gimana?”