Mobil SUV hitam berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Satu pohon mangga besar berdiri kokoh di tengah halaman yang ditumbuhi rumpu-rumput hijau. Beberapa bunga juga menghiasi halaman rumah. Tampak sekali kalau pemilik rumah sangat menyukai tanaman.
Lea melangkah turun dari dalam mobil. Dan dari dalam rumah muncul anak kecil berusia dua tahun berlari-lari kecil ke arahnya. Dia memanggil-manggil ‘Mama’ dan langsung memeluk Lea. Begitu pula Lea yang langsung menggendong anak laki-lakinya dan menciuminya. Sudah hampir satu bulan ini Lea tidak pulang sehingga dia sangat merindukan Narayan. Sementara Andrew hanya mengikuti dari belakang dan tersenyum melihat pemandangan Ibu dan anak di depannya. Dia langsung mendatangi Ibu Lea dan menyalaminya.
“Bagaimana kabarmu, Drew? Lama tidak main ke sini.”
“Iya, bu. Sedang banyak pekerjaan di Jakarta.”
“Yang penting kamu sehat, kan?”
Andrew mengangguk. Ibunya Lea selalu memperhatikan dia seperti anaknya sendiri. Itulah kenapa dia senang sekali berada di rumah ini. Dia seperti menemukan keluarga baru.
“Ayo masuk dulu.” Ajak Ibu.
Andrew berjalan masuk ke dalam rumah mengikuti Ibunya Lea. Begitu pula dengan Lea yang masih menggendong Narayan.
“Narayan pasti lupa sama Ibu kalau sudah ketemu Mamanya.” Ucap Ibu dengan senyum saat melihat Narayan yang terus tidak mau lepas dari Lea.
“Biarin, bu. Lea juga kangen.” Lea mengelus-elus punggung kecil anaknya yang masih melingkarkan lengannya di leher Lea.
“Nara mau ikut, Om? Om punya mainan baru.” ucap Andrew yang langsung membuat Narayan menoleh dan menatapnya. Seolah, dia sedang menunggu mainan seperti apa yang dibawakan.
“Tunggu.” Andrew kembali ke mobilnya untuk mengambil beberapa mainan yang sudah disiapkannya. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan membawa beberapa tas berisi mainan, mulai dari kereta yang satu paket dengan relnya, mobil dengan remote control, dan sebuah robot transformer berukuran besar.
Melihat semua hadiah itu, Narayan langsung minta turun dari gendongan Lea dan menghampiri Andrew.
“Nara, kamu melupakan Mama dan memilih Om Andrew.” Lea geleng-geleng sendiri melihat sikap anaknya. Tetapi, dia senang karena Andrew menyayangi Narayan seperti anaknya sendiri. Mereka terlihat asyik bermain di lantai. Andrew sedang memasang track rel kereta dan Narayan dengan tenang menungguinya.
“Yuk, bantuin ibu nyiapin makanan untuk Andrew.” Ajak Ibu yang disetujui Lea. Mereka berdua lalu berjalan menuju dapur.
“Bagaimana kabarmu? Kamu terlihat semakin kurus saja.”
“Lea baik, bu. Kurus juga karena Lea enggak boleh gemuk kalau kerja di kantor.” Lea memang tidak mengatakan pada Ibunya kalau dia bekerja di sebuah coffee shop. Dia mengatakan pada ibunya kalau dia bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta. Ibu pasti tidak setuju kalau Lea bekerja di coffee shop dan tinggal di tempat kost untuk menghemat pengeluaran. Apalagi kalau sampai tahu Lea hanya makan sehari sekali.
“Yang penting kamu jaga kesehatanmu.”
“Iya, bu.”
“Oh ya, apakah kamu dan Andrew sudah ada perkembangan?”
“Maksud ibu gimana?”
“Ya, masa mau temenan terus. Kalau menurut Ibu sih, Andrew laki-laki yang baik. Dia sayang sama kamu dan Narayan.”
Lea tertawa mendengarnya. “Bu, Lea dan Andrew hanya berteman baik. Kebaikan dia juga karena kami bersahabat. Andrew itu anak orang kaya, bu. Kasihan kalau harus menikah sama janda satu anak.”
Ibu diam. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Tetapi, ucapan Lea memang terdengar menyedihkan. Ibu pasti juga menyadari posisi Lea tidak mudah diterima oleh orang lain. Lea kemudian memeluk ibunya dari belakang. “Ibu tidak perlu mengkhawatirkan Lea. Lea bisa menjaga diri Lea sendiri dan akan terus berusaha mencukupi kebutuhan Narayan, meski Lea tidak lagi memiliki suami.”
Ibu masih tidak menyahut. Namun Lea tahu kalau Ibu sedang menyeka airmatanya. Mungkin, berat baginya melihat anak perempuannya harus hidup seperti ini. Membesarkan anaknya sendirian.
Adegan menyedihkan ini berakhir ketika Narayan tiba-tiba masuk ke dapur dan mengajakku untuk melihat keretanya yang berjalan melewati rel-rel yang sudah dipasang rapi. Dia sangat senang saat menunjukkannya pada Lea.
“Makasih ya, Drew.” Ucapku saat duduk di sampingnya.
Andrew hanya tersenyum saja. Dia memeluk Narayan yang memilih duduk di pangkuannya. Narayan banyak sekali bicara kalau sedang bersama Andrew. Dan meski masih sulit dipahami, Andrew tetap berusaha untuk memahami Narayan.
Mungkin benar apa yang dikatakan Ibu kalau Andrew menyayangi Narayan, tetapi Lea adalah satu-satunya orang yang tidak bisa membuka hatinya untuk Andrew. Entah kenapa, dia merasa hatinya sudah dimiliki orang lain, tetapi dia tidak tahu siapa pemiliknya?
-00-
“Kamu memikirkan apa, Lea?”
Suara Ibu menggugah lamunan Lea. Sejak satu jam yang lalu, dia duduk di teras rumah dan menatap daun-daun yang bergesekan karena diterpa angin malam. Sisa-sisa hujan juga masih menggenang di hamparan rumput. Sementara pikirannya berkelana ke tempat yang jauh.
“Enggak, bu. Lea hanya mencari angin segar. Narayan sudah tidur?”
“Iya. Dia sudah tidur makanya ibu mencarimu. Kamu tidak tidur juga? Sudah malam.”