“Ben, ini apa?” Lea menatap kotak kecil berwarna merah muda yang diulurkan Benny saat dia sudah selesai jam kerjanya.
“Kado ulang tahunmu.” Jawab Benny singkat. Senyum tersungging di bibirnya. Senyum yang selalu membuat Lea terpaku karena keindahannya.
“Ulang tahun? Apakah hari ini benar-benar ulang tahunku?” Lea mengambil ponselnya dan melihat pada tanggal yang tertera di layar ponsel. 25 Juni. Benar. Hari ini dia benar-benar sedang berulangtahun.
“Bagaimana kamu tahu?”
“Kamu tidak perlu bertanya, karena aku sudah tahu banyak tentangmu.”
“Kamu memata-mataiku?”
Benny malah tertawa.
“Buka dulu saja kadomu.”
Lea meraih kotak berwarna merah muda itu dan membukanya. Sebuah kalung dengan liontin yang sangat indah berbentuk kunci dengan hiasan permata. Lea tampak takjub saat melihatnya.
“Sini, aku pakaikan.”
Benny bangkit dari kursi dan meraih kalung itu. Dia memakaikannya di leher Lea. Di saat yang sama, Lea merasakan jantungnya berdetak tidak karuan.
“Kalungnya semakin cantik karena kamu yang pakai.” ucap Benny setelah dia selesai memakaikannya.
Lea tersipu mendengarnya. Dia menyentuh liontin kunci yang melekat di dadanya.
“Anggap saja kunci itu adalah kunci ke hatimu. Dan aku berharap hanya aku yang memilikinya.” Lanjut Benny.
Semakin lama ucapan Benny semakin menjurus pada keseriusan hubungan mereka. Tetapi anehnya, Lea merasa tidak risih ataupu risau dengan statusnya. Dia pikir Benny sudah bisa menerima dirinya apa adanya. Suatu saat, dia ingin mengajak Benny untuk bertemu putranya.
“Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat? Makan malam mungkin.”
“Baiklah. Aku akan mengganti baju dulu.”
Lea kemudian beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju ke bagian dalam kafe untuk mengganti baju. Beberapa saat kemudian dia keluar dengan blouse warna mocca yang dipadukan dengan celana jeans biru. Dia mengikat rambut panjangnya ke atas. Dan dia menyempatkan diri untuk memoles bibirnya yang mungil dengan lipbalm. Ini adalah pertama kalinya Lea ingin berdandan di depan laki-laki.
“Mau kemana, Le?” tanya Tasya yang berpapasan dengannya.
“Mau pergi sama dia.” Lea menunjuk ke satu arah dan membuat Tasya menoleh ke arah yang ditunjuk Lea.
“Dia siapa?” Tasya mengerutkan keningnya.
“Kapan-kapan aku cerita. Aku pergi dulu ya.” Lea menepuk bahu Tasya dan berjalan ke luar kafe dengan riang, meninggalkan Tasya yang masih menatapnya dengan bingung. Baru kali ini, dia melihat Lea seriang tadi.
-00-
Berada di ketinggian empat puluh enam lantai hanya untuk makan malam adalah pertama kalinya bagi Lea. Dia bisa melihat lampu-lampu kota yang gemerlap dan juga kendaraan di bawah tak ubahnya seperti bintang yang berbinar di langit. Jakarta memang selalu gemerlap di malam hari.
“Kenapa memilih tempat ini?” tanya Lea.
“Karena aku tahu kamu suka bintang dan gemerlap lampu kota yang dilihat dari ketinggian.”
Lea benar-benar takjub pada Benny. Bagaimana dia bisa membaca keinginan Lea, tanpa menanyakannya. Apakah itu namanya ketika hati saling menyatu? Pasanganmu akan tahu isi hatimu tanpa kamu harus mengatakannya.
Pramusaji menyiapkan dua porsi steik di meja.
“Terima kasih, Mbak.” Ujar Lea pada pramusaji yang menatapnya dengan tatapan aneh. Lea akhirnya tersenyum kecut saja. Dia sadar kalau pakaiannya terlalu biasa untuk pergi ke tempat seperti ini. Tetapi, dia memilih mengabaikannya. Toh, dia juga tidak mengenal pramusaji itu. Yang terpenting adalah dia bahagia malam ini.
“Ini untukmu.” Benny mengulurkan steik yang sudah dia potongi pada Lea dan menukarkannya dengan piring yang dipegang Lea.
“Thanks.”
Rasa daging yang bercampur dengan saus terasa sangat juicy. Lidah Lea benar-benar dimanjakan oleh daging itu. Ini adalah steik terenak yang pernah dimakannya. Dia bahkan sampai tidak sadar kalau daging di piringnya sudah habis.
“Kamu benar-benar makan dengan lahap.” Ujar Benny yang membuat Lea malu. Mungkin, Benny belum tahu kalau nafsu makan Lea bisa meledak jika dia melihat makanan mahal di depannya.
“Aku senang melihatmu bahagia seperti ini. Semoga, aku terus bisa membahagiakanmu.” Lanjut Benny. Dia meraih tangan Lea dan mengenggamnya erat. Sementara matanya lurus menatap mata Lea. Mata mereka saling berbicara, mengungkapkan yang tersimpan di hati tanpa harus mengucap.
-00-
Andrew membaca pesan yang dia terima di ponselnya semalam. Meski semalam dia sudah membacanya, tetapi dia terus mengulangnya hingga pagi ini. Sesuatu sedang mengusik hatinya dan pikirannya. Ada yang terasa salah dan janggal, namun dia tidak bisa mengungkapkannya. Dia juga tidak punya bukti untuk prasangkanya.
Dia kemudian memilih untuk mencari jawabannya sendiri. Menurutnya, itu adalah jalan yang paling tepat untuk semua pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Andrew meraih kunci mobilnya yang tergeletak di meja dan keluar dari apartemennya. Dia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Semoga saja pagi ini, Jakarta tidak terlalu padat.
Mobil berhenti tepat di depan rumah dua lantai dengan cat warna putih. Andrew melangkah keluar dari mobilnya dan langsung berjalan masuk. Dia menaiki tangga menuju ke kamar yang berada paling ujung. Untuk beberapa saat, Andrew hanya terdiam di depan kamar. Dia sedang mempertimbangkan pilihannya ini. Apakah ini benar-benar jalan yang tepat untuk diambil?
Andrew mengangkat tangannya dan mulai mengetuk pintu. Sekali. Dua kali hingga beberapa kali sampai akhirnya pintu terbuka. Orang yang membuka pintu tampak terkejut melihat Andrew sudah berdiri di depan kamar kostnya sepagi ini.
“Bisa bicara sebentar, Le?” tanya Andrew.
“Ada apa, Drew?” Lea membuka lebar pintu kamarnya dan membiarkan Andrew masuk.
“Maaf masih berantakan karena aku baru bangun.” Tambah Lea. Dia menarik selimutnya yang acak-acakan di atas tempat tidurnya dan mulai melipatnya.
Andrew tidak menanggapi. Dia sedang mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kamar Lea. Tidak ada yang berbeda. Semuanya sama persis dengan pertama kalinya Lea pindah ke kamar kost ini. Kemudian pandangan Andrew berpindah pada Lea. Sesuatu yang berkilau di leher Lea menarik perhatiannya.
“Kalungmu baru?” tanya Andrew.
Lea menoleh. Dia lalu menyentuh kalung berliontin kunci yang semalam disematkan Benny di lehernya. “Seseorang memberikannya sebagai kado ulang tahun.”
Andrew diam. Dia berusaha untuk menahan dirinya. Dia kemudian mengedarkan pandangannya lagi dan sesuatu menarik perhatiannya. Tangannya meraih secarik kertas yang terjatuh di karpet bulu. Dia membacanya.
“Kamu ke Altitude semalam?”
Lea tersenyum mendengarnya. Dia teringat dengan makan malamnya dengan Benny yang indah semalam. “Iya.” Jawabnya malu-malu.
“Kamu dekat dengan seseorang, Le?”
Lea menoleh pada Andrew. Mencoba mencari tahu apa yang sedang diinginkan Andrew dengan menginterogasinya seperti itu. Bahkan, dia sampai datang di pagi-pagi seperti ini.
“Kenapa, Drew? Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu tidak suka?” Lea malah melontarkan pertanyaan pada Andrew, alih-alih menjawabnya.
“Siapa dia, Le? Orang yang meminjamkanmu ponsel itu?” Andrew masih saja terus bertanya dan menyudutkan Lea. Dia sudah dipenuhi oleh rasa penasaran yang sangat besar, hingga mengabaikan Lea. Yang paling utama dari kedatangannya pagi ini adalah mengetahui siapa laki-laki yang bisa membuat Lea tersenyum malu-malu seperti tadi.
“Namanya Benny. Benny Adhyaksa Wijaya.” Lea masih malu-malu menyebutkannya. Pipinya bahkan bersemu merah.
Sementara Andrew hanya berdiri mematung. Tangannya mengepal kuat menahan perasaannya. Saking kuatnya, tangannya sampai bergetar. Tanpa mengatakan apapun, Andrew langsung keluar kamar kost dan membuat Lea kebingungan. Apakah ada yang salah dari ucapannya? Apakah Andrew marah padanya karena malah memilih membuka hati pada laki-laki yang baru dikenalnya daripada sahabatnya sendiri? Apakah Andrew cemburu hingga bersikap seperti itu? Lea masih mematung menatap pintu yang terbuka lebar. Di luar sana, langit mendung. Hujan seolah bersiap turun.