Remember Me

Evi Ratnasari
Chapter #12

DUA BELAS

Lea pingsan. Aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit sekarang. Pesan dari Tasya terus terulang di pikiran Andrew. Dia bahkan sampai beberapa kali menabrak orang saat berada di bandara. Terpaksa, dia memajukan jadwal penerbangannya, tetapi secepat-cepatnya dia bisa mendapatkan pesawat, dia tetap harus menunggu beberapa jam. Pandangan Andrew tertuju pada layar ponselnya. Dia berharap Tasya akan mengirimkan kabar baik padanya setelah dua jam berlalu sejak pesan terakhirnya. Dia juga tidak bisa menghubungi Tasya karena telepon darinya tidak diangkat. Dia takut sekali kalau sesuatu yang buruk akan terjadi pada Lea.

Hingga akhirnya, terdengar dari pengeras suara kalau penumpang pesawat tujuan Jakarta bisa melakukan boarding.

Andrew langsung beranjak dari kursi tunggu.

Selama di dalam pesawat, Andrew lebih banyak melamun. Dia ingat pembicaraan dengan Mamanya semalam setelah tangisan Mamanya mereda. 

“Mama mungkin memang egois, tapi Mama sangat menyayangi kakakmu.” Sisa isak tangis Mama masih terdengar saat mengatakannya. Dia membersihkan sisa-sisa tangisannya dari wajahnya.

“Andrew tahu. Tetapi, Mama juga tidak bisa menyalahkan Lea.” Andrew menepuk-nepuk punggung Mamanya lembut.

“Mama ingin ketemu Narayan.” Ucap Mama tiba-tiba. Tetapi, bagi Andrew, itu adalah kabar bahagia. Akhirnya, Mama mau menemui cucu laki-lakinya. Setelah kepergian anak sulungnya, Mama tidak pernah mau keluar dari Bali. Bahkan, Mama tidak ingin bertemu lagi dengan Lea ataupun Narayan. Alasannya, Mama membenci Lea dan menemui Narayan akan mengingatkannya pada anak sulungnya. Wajah mereka sangat mirip.

“Nanti, aku akan mengaturnya. Mulai sekarang, Mama harus belajar merelakan kakak.”

Mama mengangguk lemah. Meski tidak yakin akan benar-benar terjadi, Andrew tetap yakin kalau Mamanya akan berusaha. Siapa yang mau hidup berkubang dengan masa lalu yang menyedihkan?

Andrew kemudian teringat lagi dengan peristiwa tiga tahun yang lalu. Saat Kakaknya mengungkapkan isi hatinya yang ingin menikahi Lea. Mereka berdua juga sedang berada di pesawat menuju ke Jakarta.

“Aku minta maaf karena sepertinya aku akan melamar Azalea.”

Saat itu, Andrew tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasa bahagia dan hancur di saat bersamaan. Kakaknya mencintai perempuan yang selama ini diam-diam dicintainya juga. 

“Kenapa kakak minta maaf padaku?”

“Karena aku tahu kamu juga menyimpan perasaan yang sama. Tetapi, aku tidak akan rela kalau aku harus kehilangan dia. Azalea adalah perempuan pertama yang membuat hatiku bergetar. Aku ingin menjadikannya duniaku.”

Andrew menatap kakaknya. Ada ketulusan di matanya. Ketulusan itulah yang akhirnya membuat Andrew rela mengalah. Membiarkan kakaknya bersanding di pelaminan bersama perempuan yang dicintainya. Meski sakit sekali rasanya, Andrew bisa tersenyum dengan melihat mereka berdua bahagia. Dia bahkan rela menyingkir dari kehidupan Azalea dengan menetap di Singapura. Alasannya, dia ingin melanjutkan sekolahnya.

Suara awak pesawat yang menyampaikan kalau pesawat akan mendarat di bandara Soekarno Hatta, membangunkan Andrew dari lamunannya. Tidak terasa dia sudah melamun lebih dari satu jam. Dia menarik sabuk pengaman di kursi dan mengaitkannya. Dia sudah tidak sabar untuk pergi ke rumah sakit dan memastikan kalau Lea baik-baik saja.

-00-

Andrew tidak tahu apakah dia merasa lega karena akhirnya bisa melihat Lea tidur dengan lelap, atau dia sedang merasa khawatir dengan segala kemungkinan ketika Lea bangun nanti. Dia berdiri di samping ranjang Lea, menatapnya yang sedang tertidur dengan jarum infus di tangan kirinya. Apa yang dilihatnya sekarang, membuatnya teringat dengan peristiwa satu setengah tahun lalu. Di rumah sakit yang sama, dia menunggu Lea bangun selama lebih dari dua minggu. Narayan yang saat itu baru berusia 6 bulan harus dipaksa minum susu formula karena Ibunya tidak bisa memberikan ASI. Hari-hari yang berat harus dilaluinya selama beberapa bulan. Mengurus Lea dan Narayan bergantian dengan Ibunya Lea.

“Bagaimana kata dokter?” 

Tasya tiba-tiba muncul di pintu. Andrew menoleh dan mengisyaratkan untuk bicara di luar. Dia tidak ingin tidur Lea terganggu.

“Dokter bilang, Lea hanya butuh istirahat. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Andrew belum sempat menanyakan pada Tasya sebelumnya, tentang apa yang terjadi hingga Lea pingsan. Seingatnya, Lea masih baik-baik saja saat terakhir kali bertemu dua hari yang lalu.

“Aku juga tidak tahu. Dia sudah datang dengan wajah pucat. Aku tanya apa dia merasa tidak enak badan, tetapi Lea hanya menggeleng. Setelah itu, dia bekerja seperti biasa. Lalu, tiba-tiba dia bilang kepalanya sakit dan dia pingsan.”

“Apakah dia mengatakan sesuatu padamu?”

Tasya menggeleng. “Lea selalu tertutup padaku.”

Andrew tentu saja tahu alasan Lea tertutup pada orang lain. Dia tidak ingin orang lain tahu kalau dia adalah perempuan tidak bersuami. Baginya, itu bukan kebanggaan sehingga dia tidak ingin menceritakannya pada siapapun.

“Kamu bisa pulang, Tas. Aku akan menjaga Lea. Terimakasih karena sudah membawanya kemari.”

Lihat selengkapnya