“Maukah kamu menjadi rumah untukku, Azalea? Tempat aku pulang kemanapun aku pergi. Dan menjadi duniaku, dimana aku hidup dan tinggal.”
Benny berlutut di depan Lea sembari menyodorkan sebuah cincin sederhana dengan batu berlian kecil di bagian tengah. Dia melakukannya persis seperti yang dilakukan semua pria dalam drama-drama romantis. Padahal, selama ini, Benny bukanlah kategori pria yang suka melakukan hal romantis atau mengatakan kata-kata cinta. Benny tetaplah seorang Benny yang cuek dan senang bepergian ke beberapa tempat. Dia sering mengajak Lea pula saat mengunjungi beberapa tempat. Lea bahkan harus berhenti dari pekerjaannya karena terlalu sering bepergian dengan Benny.
Lea mengedarkan pandangannya pada orang-orang di sekitar yang melihat mereka. Melamar di pusat keramaian kota Praha, bukanlah sesuatu yang akan dipikirkan Lea. Kenapa Benny tidak mengatakannya semalam saat mereka menikmati makan malam romantis, tetapi malah di sini, di Wenceslas Square, tempat begitu banyak orang hilir mudik?
“Ben, bisa enggak kamu berdiri?” gumam Lea. Dia mulai malu karena ada begitu banyak orang yang melihatnya.
Benny malah menggeleng. “Aku tidak akan berdiri sampai kamu mengatakan iya.”
Lea menggigit bibirnya. Dia pun mencintai Benny. Tetapi, apakah menikah tidak terlalu cepat?
“Baiklah, Ben. Aku akan menikah denganmu.”
Benny langsung berdiri dan memeluk Lea. Tidak ada kebahagiaan selain kata ‘iya’ dari mulut Lea. Dia bahkan mengangkat tubuh Lea, sembari berteriak “She said yes.”
Beberapa orang bahkan sampai bertepuk tangan. Membuat Lea semakin malu dengan sikap Benny.
“Ben, udah deh. Ayo kita pergi dari sini. Aku malu.”
Benny akhirnya menurunkan Lea dan merangkulnya. Mereka berjalan pergi dari square. Lea masih menutupi wajahnya meski sudah berjalan sangat jauh.
“Aku sudah tidak sabar menikahimu.” Bisik Benny.
Setelah itu, semuanya berjalan sangat cepat. Pernikahan sederhana hanya membutuhkan waktu kurang dari dua bulan. Hubungan Lea dan Benny memang terhitung sangat cepat. Mereka berkenalan, lalu dua bulan kemudian memutuskan bersama. Enam bulan bersama, Benny melamar Lea dan sekarang mereka sudah menikah. Benny memboyong Lea ke rumahnya di Jakarta. Rumah yang sangat megah yang selalu Benny bilang disiapkan untuk calon istri dan anak-anaknya kelak. Pekerjaan Benny sebagai seorang arsitektur membuatnya tidak kesulitan untuk mendesain rumah yang indah ini.
Setiap hari mereka lalui dengan bahagia. Mereka berdua saling melengkapi satu sama lain. Kekurangan Benny akan dilengkapi Lea, begitu pula sebaliknya. Mereka juga masih sering pergi bersama ke tempat-tempat yang ingin dikunjungi Benny. Entah itu di Indonesia atau harus ke luar negeri. Semuanya mulai terasa sulit saat Lea hamil. Kondisi kandungan Lea yang lemah membuatnya tidak boleh bepergian dengan pesawat. Sementara Benny, masih saja disibukkan dengan pekerjaannya yang mengharuskan dia pergi ke luar kota atau luar negeri. Benny juga masih sering travelling karena dia harus mencari inspirasi untuk proyeknya.
“Ben bisa enggak sih, kamu di rumah saja? Aku kan lagi hamil besar gini.” Protes Lea saat melihat Benny berkemas karena besok pagi dia harus pergi ke Melbourne.
“Aku kan kerja, Lea.” Benny menjawabnya tanpa menoleh sedikitpun. Dia fokus pada barang-barang yang dikemasnya agar tidak ada yang ketinggalan.
“Ya enggak kerja juga, kamu masih sering bepergian. Kapan kamu perhatiin aku, Ben?” Lea mengiba. Dia mengusap-usap perutnya yang sudah membesar karena usia kehamilannya sudah delapan bulan.
“Selama ini juga aku perhatiin kamu, kan. Kamu ngidam apa juga aku beliin. Kamu ke dokter juga aku antar. Aku kerja ini juga untuk kamu dan bayi kita. Kalau enggak kerja, aku mana mungkin bisa nyiapin rumah ini buat kamu.”