“Ini teh untukmu.”
Andrew menyodorkan secangkir teh hangat untuk Lea. Mereka berdua sedang duduk di ruang tengah rumah yang dulu ditinggali Benny dan Lea. Sejak keluar dari rumah sakit, Lea kembali ke rumah ini. Narayan dan Ibunya juga tinggal di sini.
“Terima kasih.”
Lea menangkupkan kedua tangannya pada cangkir dan rasa hangat langsung menjalar di tubuhnya yang dingin karena kehujanan.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Aku baik-baik saja, Drew. Tadi hanya ingin hujan-hujan saja.”
“Kamu ke makam lagi?”
Lea mengangguk. Sejak Andrew menunjukkan makam Benny padanya, hampir setiap hari Lea mengunjunginya. Kadang bersama Narayan, kadang sendiri. Dia bercerita banyak hal pada Benny saat di makam. Menutup waktu yang hilang karena dia kehilangan memori tentang suaminya.
“Le, ada sesuatu yang ingin aku katakan.”
“Hmm?”
“Mama ingin bertemu Narayan.”
Lea tidak langsung menyahut. Setelah sekian lama, Mamanya Benny akhirnya ingin bertemu cucunya. Selama menikah dengan Benny, Mama selalu bersikap dingin padanya. Bukan karena dia tidak menyukai Lea. Tetapi, Mama terlalu sayang pada Benny, hingga berpikir kalau Lea merebut Benny darinya.
“Silakan, Drew. Mama mungkin kangen dengan Benny.”
“Ya. Dan aku mewakili Mama minta maaf padamu. Kalau saja Mama tidak mengirimkan semua barang Benny padamu, mungkin kamu masih hidup baik-baik saja.” Andrew tampak sangat merasa bersalah. Dia sadar, keluarganya telah membuat Lea menjadi seperti ini.
“Tidak, Drew. Aku justru berterima kasih pada Mama karena mengingatkanku pada Benny. Mungkin, ini adalah cara Benny untuk menyampaikan rindunya padaku. Dia pasti ingin aku mengunjunginya.”
Lea mengatakannya dengan tatapan kosong. Cintanya pada Benny sangatlah besar. Dan kehilangan Benny, membuat mata berbinar yang selalu dimilikinya, menjadi redup.
“Aku akan menjemput Mama besok dan mengajaknya kesini.”
“Terimakasih.”
“Untuk apa?”
“Karena sudah menjaga kami semua.”
Andrew tersenyum lebar. Dia meraih tangan Lea dan mengenggamnya. “Aku akan menjagamu dan Narayan seperti yang seharusnya dilakukan Benny.”
Mereka saling menatap, berbicara melalui mata mereka. Terkadang, ketulusan tidak perlu diucapkan.
-00-
“Apa ini, Drew?”
Lea menerima laptop yang diulurkan Andrew padanya.
“Semua yang Benny simpan. Aku pikir kamu harus menyimpannya. Aku akan mengembalikan semua barang Benny ke rumah ini.”
“Memangnya selama ini kamu simpan dimana?”
“Di rumahku.”
“Kenapa kita semua tidak tinggal di rumah ini saja? Rumah ini terlalu besar untuk ditinggali aku, Narayan dan ibu saja. Mama juga bisa tinggal di sini.”
Mamanya Benny yang sedang menggendong Narayan menoleh dan menyahut, “Apakah boleh?”
“Tentu saja, Ma. Nara pasti senang punya dua Eyang Putri.” Lea tersenyum lebar mengatakannya. Dia pikir, semakin banyak orang yang tinggal di rumah ini akan membuatnya tidak merasa kesepian dan terlalu larut dalam kesedihan karena kehilangan Benny.
“Kalau begitu, kamu ambil barang-barang Mama yang di Bali ya, Drew.” Mama tampak bahagia sekali. Dia bahkan sama sekali tidak melepaskan Narayan dari pandangannya sejak pertama bertemu. Baginya, dia seperti melihat masa kecil Benny. Dan bersama Narayan benar-benar mengobati rindunya pada anak sulungnya.