Beberapa orang tampak hilir mudik di depan gedung berlantai 10. Pada jam masuk kerja seperti ini, orang akan terlihat sibuk dan terburu-buru. Mungkin sebagian dari mereka terlambat bangun, atau anaknya sedang rewel dan sulit ditinggal kerja, atau antrian di kendaraan umum yang membuat mereka harus datang terlambat. Semua orang punya alasan sendiri-sendiri, karena mereka punya kehidupan sendiri. Mereka yang terlambat bangun, mungkin begadang semalaman. Mereka yang punya anak dan tidak bisa ditinggal, mungkin tidak memiliki cukup dana untuk menyewa asisten rumah tangga. Dan mereka yang naik kendaraan umum, mungkin malas dengan kemacetan saat harus menyetir sendiri. Lea adalah bagian terakhir dari orang itu. Sejak dulu, dia lebih senang bepergian dengan bus transjakarta atau KRL. Kenapa? Karena dia jenuh dengan kemacetan yang seolah tidak ada penyelesaiannya.
Lea berjalan memasuki gedung dan menuju ke pintu lift. Ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai PR di kantor Andrew. Sebenarnya, kantor milik Andrew hanya berada di lantai 5 dan 6. Dan gedung besar ini memang disewakan untuk beberapa perusahaan kecil.
Beberapa orang menyapa Lea saat berada di dalam lift. Mereka tentu saja mengenal Lea, karena sempat menggantikan posisi Andrew saat dia melanjutkan sekolahnya di Singapura.
“Kopi.”
Lea meletakkan tumblr berwarna abu-abu dengan logo sebuah perusahaan waralaba coffeehouses ternama di dunia.
Andrew yang menerimanya langsung mengernyitkan dahinya. “Kamu menyindirku dengan membawa tumblr starbucks ke sini?”
Lea otomatis tertawa. “Aku memotivasimu. Coffee and multinational chain of coffeehouses.”
“Thanks motivasinya. Kita ada rapat setelah ini.”
Lea mengacungkan dokumen yang dibawanya. “Ini program baru dari tim PR.”
“Nice. Tidak rugi mempekerjakan PR senior di media massa.”
Lea mencebikkan bibirnya, lalu berjalan keluar dari ruangan Andrew. Dia harus menyiapkan presentasinya pagi ini.
-00-
Melihat Lea seceria hari ini, tidak ada yang tidak akan ditukarnya dengan itu. Andrew benar-benar bersyukur bisa melihat Lea tersenyum dengan lebar dan berbicara dengan percaya diri di depan semua orang di kantor. Dia sedang mempresentasikan program yang dirancangnya untuk akhir tahun ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, momen akhir tahun akan membuat beberapa perusahaan sibuk mempromosikan program yang akan meningkatkan penjualan.
“Presentasi yang bagus. Kita bisa segera menjalankannya.”
“Ya, aku akan segera menghubungi bagian logistik untuk mencetak brosur yang akan disebarkan di beberapa coffeeshop.”
“Ikut aku ke rooftop yuk, Le.”
“Ngapain?”
“Sarapan bubur.”
“Astaga, Drew. Kenapa bersama kamu tidak jauh-jauh dari bubur ayam?”
Andrew tertawa mendengarnya. Tetapi, meskipun dengan mengomel dan protes, Lea tetap mengikuti Andrew menuju ke lift. Setelah pintu menutup, lift bergerak ke lantai teratas gedung.
“Aaah, anginnya cukup untuk menyejukkan kepala.” Ucap Andrew sesampainya di lantai atap. Angin kencang langsung menerpa wajah Lea dan menerbangkan rambutnya yang dibiarkan terurai.
“Bukannya anginnya panas, ya?”
Lea masih saja komplain dan membuat Andrew geleng-geleng.
“Mana buburnya?” tanyanya lagi.
Lea benar-benar sudah kembali menjadi Lea yang dulu. Cerewet.
“Sebenarnya, aku mau bicara hal lain.”
Lea menatap Andrew, mencari tahu apa yang mungkin dibicarakannya sampai harus mengajaknya ke lantai atap. Andrew kemudian mengambil sesuatu dari saku celananya.
“Dua tiket nonton premiere. Aku ingin mengajakmu.” Dia mengulurkannya pada Lea.
Sesaat, dia terpaku menatap dua tiket bioskop di tangannya. Terakhir kali dia datang ke bioskop bersama Benny, lalu kecelakaan itu terjadi. Apakah dia akan sanggup melakukannya lagi?
“Kalau kamu masih sulit untuk kesana, aku bisa membatalkannya. Aku…”
“Tidak. Kita akan pergi nanti malam.” Lea buru-buru memotongnya. Dia menerima dua tiket itu dan memasukkannya ke dalam saku blazer yang dipakainya. Meski dia juga tidak yakin apakah dia akan sanggup, tetapi setidaknya dia harus mencoba. Dia ingat kata-kata ibunya kalau dia harus memberanikan diri untuk melihat keajaiban-keajaiban baru di depannya.
“Kamu yakin?”
“Ya. Ada kamu juga kan nanti.” Lea tersenyum meski dipaksakan. Dia menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya karena tertiup angin.
Sementara Andrew, dia tahu kalau perempuannya di depannya ini sedang ragu dengan keputusannya. Tetapi, dia tidak boleh mundur. Dia harus bisa membuat Lea mengalahkan trauma masa lalunya.
“Sekarang, kita bisa sarapan bubur di ruanganku.”