[Hari kedua]
“Kita bertemu lagi, Livia.” Rury menyapa Livia yang sedang duduk di tempat menunggu di bandara untuk mendapatkan kabar mengenai suaminya-Reiner yang hilang bersama dengan penumpang pesawat Nature lainnya.
“Anda juga datang lagi.” Livia membalas sapaan Rury dengan senyuman sebagai pertanda senang bertemu dengan teman barunya itu.
Rury menganggukkan kepalanya dan duduk di samping Livia. “Aku sedikit beruntung karena universitas di mana aku bekerja memberikanku keringanan karena tahu musibah yang menimpa keluargaku. Jadi aku bisa datang ke sini lagi.”
Livia ingin mengatakan syukurlah, tapi benaknya mengatakan bahwa kata itu sungguh tidak tepat untuk diucapkan mengingat keberadaannya di sini bersama Rury karena musibah yang sedang menimpa suminya dan suami Rury.
“Ngomong-ngomong dua hari ini kita sudah cukup dekat. Jika boleh, aku ingin bertanya siapa nama suamimu? Mungkin jika aku tidak bisa datang kemari aku bisa meminta tolong padamu. Kita juga bisa bertukar nomor ponsel.“ Rury berkata lagi dan sama seperti hari sebelumnya, Rury adalah orang yang selalu memulai percakapan dengan Livia.
“Nama suamiku Reiner.”
“Nama yang keren sekali. Seperti apa suamimu itu?” Livia terdiam mendengar pertanyaan Rury. Untuk sejenak Rury merasa bahwa pertanyaannya mungkin telah melewati batasan Livia. “Apakah pertanyaanku membuatmu tidak nyaman? Kalau kamu tidak ingin cerita tidak masalah. Aku bisa bercerita lebih dulu agar kita berdua di sini tidak merasa jenuh.“
Livia menggelengkan kepalanya. “Tidak ... aku hanya teringat suamiku sebelum kepergiannya. Suamiku berusia 32 tahun lebih tua dariku setahun. Dia bekerja sebagai kontraktor di salah satu perusahaan real estate di kota ini. Dia orang yang sedikit angkuh jika baru mengenalnya. Tapi setelah mengenalnya, sebenarnya dia orang yang suka bicara.”
“Ah, suami kita seumuran rupanya. Suamiku juga berumur 32 tahun. Namanya Glen, bekerja di perusahaan real estate di kota ini juga. Sifatnya hampir sama dengan suamimu. Hanya saja dia bukan orang yang suka bicara.” Rury menjelaskan suaminya sembari menyodorkan ponselnya pada Livia dan memperlihatkan fotonya dengan suaminya. “Ini, kamu lihat saja wajah suamiku, meski dia sangat tampan tapi sangat jelas terlihat dia adalah orang yang dingin.”
Melihat Rury yang semangat menceritakan tentang suaminya, Livia hanya bisa tersenyum sembari menatap wajah suami Rury-Glen. “Melihat kalian bersama di foto, aku dapat dengan jelas melihat sifat kalian yang berbanding terbalik.”
“Itu yang sering sekali aku dengar dari banyak orang. Karena usiamu denganku selisih satu tahun, haruskah aku memanggilmu dengan panggilan kakak atau mbak?”
“Kamu bisa memanggilku dengan namaku.” Livia tidak ingin teman barunya merasa canggung karena perbedaan usia di antara mereka. “La-lalu bagaimana kalian bisa saling mengenal? Kau dan Glen?”
“Pertemuan bagaikan takdir. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan suamiku. Saat pertama kali melihatnya, jantungku berdetak kencang sekali hingga aku tidak bisa melupakan wajahnya sejak pertama kali kami bertemu. Bisa aku katakan bahwa akulah yang mengejarnya hingga akhirnya kami bisa bersama.”
Melihat bagaimana bibir Rury membuat senyuman bahagia menceritakan awal pertemuannya dengan suaminya, untuk sejenak Livia mengingat masa lalunya ketika bertemu dengan Reiner. “Sungguh kisah yang romantis.”
“Ya seperti itulah. Bagaimana dengan kau dan suamimu? Bagaimana kalian bertemu dan akhirnya menikah?”
Livia mengambil ponsel dari tas miliknya dan menunjukkan foto kecil keluarganya pada wanita yang jadi teman senasibnya itu. “In potret keluarga kecil kami.“
“Ah suamimu adalah pria yang tampan. Kau beruntung sekali bertemu dengannya. Bagaimana kalian bisa saling kenal?”
Livia melihat kilatan senyuman kemarin di bibir Rury. Tapi sama seperti kemarin, Livia memilih untuk mengabaikannya karena sekali lagi teringat dengan pertemuan dirinya dan suaminya-Reiner di masa lalu. “Sama sepertimu, saat pertama kali melihatnya pandanganku tak bisa beralih dari dirinya.”
“Kebetulan sekali, aku bertemu dengan orang yang mengalami hal yang sama denganku. Kamu pasti merasa beruntung sekali bisa menikah dengan cinta pada pandangan pertamamu bukan? Aku juga berpikir begitu saat aku bisa menikah dengan suamiku.”