"Bunda! Bunda! Gendong!" Lengkingan suara Mary memenuhi seisi rumah, kedua tangannya terangkat berusaha meraih baju ibunya yang sibuk membersihkan ruang tengah. Wajah gadis itu kusut oleh tangis, tubuh kecilnya dari balik piyama motif bunga matahari terus menggeliat gelisah karena rasa rindu pada sang ayah.
Pagi ini seharusnya jadi pagi yang dinantikan Livia. Setelah dua hari berpisah dengan suaminya, hari ini akhirnya Reiner akan pulang. Biasanya di saat seperti ini putri kecil mereka sangat senang karena akan segera bertemu dengan ayahnya. Tapi entah mengapa, pagi ini Mary rewel tak seperti yang sudah-sudah.
"Ya, Mary sayang! Sini Bunda gendong!"
Livia mengangkat tubuh Mary ke dalam dekapannya, berusaha menenangkan rengekan yang tak kunjung reda. Ada saat-saat ketika lengannya mulai lelah, Mary sudah bukan bayi mungil lagi seperti dulu. Di usianya yang menginjak dua tahun, tubuh kecil itu mulai terasa berat di pelukannya.
Livia kerap memandangi wajah Mary yang kian hari semakin mirip ayahnya, dari mata hingga senyum kecil yang dulu membuatnya jatuh hati. Tapi entah mengapa melihat wajah putrinya pagi ini menjalarkan rasa sesak ke seluruh pembuluh nadi. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi terkait kunjungan rutin Reiner yang sampai saat ini masih jadi misteri.
Semenjak menikah, seringkali ia bertanya pada suaminya tentang kunjungan rutinnya itu. Dalam setahun, pria berumur 32 tahun itu akan melakukan perjalanan pribadi sebanyak dua kali, tiap menjelang akhir Januari dan minggu ketiga Juni. Sebagai seorang istri, hal ini jelas membuat Livia penasaran tentang apa yang dilakukan sang suami pada kunjungan rutinnya itu. Keingintahuannya semakin besar ketika ia menyadari setiap kunjungan di bulan Juni, Reiner selalu menyertakan setelan hitam dalam kopernya. Pernah suatu hari ia memaksa untuk ikut, tapi yang terjadi adalah pertengkaran hebat dan membuat dirinya berhenti mencari tahu. Selama empat tahun pernikahan, kunjungan itu masih menjadi misteri besar bagi Livia.
"Bunda, Bunda!" Mary kembali merengek. Tubuh mungilnya menggeliat lagi dalam pelukan ibunya.
Livia menghela pelan, lelah menjalar dari bahu hingga ke ujung suaranya. "Kenapa lagi sayang?”
Mary tak menjawab, hanya memeluk ibunya lebih erat sebelum suara kecilnya pecah karena rasa rindu. "Ayah! Mary ingin ketemu Ayah!"
Setiap kali Reiner pergi, semuanya selalu sama. Mary akan merengek, terus meminta untuk dipeluk dan bertanya kapan ayah pulang, meski Livia tahu putrinya itu masih belum benar-bener mengerti konsep waktu. Sejak kecil Mary memang lebih dekat dengan ayahnya, ada kedekatan di antara mereka yang tak bisa Livia gantikan, tak peduli seberapa keras ia mencoba. Setiap kali suaminya harus pergi, entah untuk urusan pekerjaan, perjalanan singkat atau kunjungan misterius yang tak pernah dijelaskan, ia harus bersiap. Menjadi peredam tangis, penenang dan pengganti kehangatan seorang ayah.