"Rei-ner."
Begitu kelopak matanya terbuka, Livia langsung disambut kegaduhan yang menyentak: teriakan, isak tangis, dan juga panggilan panik yang menimpa satu sama lain. Suara-suara itu saling bercampur membentuk badai di kepalanya yang masih setengah sadar.
"Mbak sudah bangun?"
Di tengah hiruk pikuk itu terdengar satu panggilan hangat. Livia mencoba menoleh perlahan, tubuhnya masih merebah di suatu tempat tapi lehernya menolak untuk bisa bekerja sama.
"Mbak? Bisa lihat aku?"
Ada seorang perempuan berlutut di sampingnya. Livia memperhatikannya sekilas. Wajah bulatnya yang manis serasi dengan pipinya yang sedikit berisi, sedang rambut hitamnya yang dipotong pendek menyingkap jelas raut ketegangan padanya saat ini. Matanya menatap Livia dengan penuh kekhawatiran.
Siapa dia? Kenapa dia menatapku seperti itu?
Livia belum mampu menjawab. Otaknya belum bisa menyusun kepingan peristiwa yang tadi dilaluinya. Tapi potongan-potongan itu segera kembali menyerang ingatannya seperti banjir bandang: teriakan, tangisan, pengeras suara yang menyebut nomor penerbangan, dering ponsel yang tak berhenti dan layar besar itu---papan pengumuman daftar nama penumpang---yang mengabarkan kehancuran hati banyak orang.
Bandara. Ya, aku di bandara. Aku ke sini untuk ...
Ia tak sempat menyelesaikan kalimat dalam benaknya. Sebab kenyataan yang baru saja kembali terasa langsung menusuk ke jantungnya: pesawat yang membawa suaminya dinyatakan hilang. Dan lelaki itu ... mungkin tidak akan pernah kembali ke pelukannya lagi.
"Mbak? Bisa lihat aku?" Suara itu mengulang, lebih cemas dari sebelumnya karena Livia tak kunjung menjawab sejak matanya terbuka.
"Y-ya." Suara Livia terdengar serak. Ia mengangguk pelan, lalu mencoba bangkit dan mendudukkan dirinya. Tapi lagi-lagi ... tubuhnya masih belum siap.
"Sini aku bantu, Mbak."
Perempuan itu dengan sigap menopang dan membantunya duduk.
"Apa yang terjadi? Kenapa saya …"
Livia kembali menatap sekeliling. Kekacauan yang tadi dilihatnya masih berlangsung. Isak tangis masih menggema, beberapa orang terbaring di kursi tunggu sama sepertinya tadi, tak sanggup dengan serangan mendadak dari berita yang mereka terima. Ia baru sadar, tubuhnya tadi roboh di sana, tergeletak di tengah riuh dunia hanya karena sentuhan ringan yang mengenai tubuhnya.
Pusing masih terasa di kepalanya dan tenaganya masih belum kembali. Tapi pikirannya dipaksa untuk tetap terjaga. Untuk tetap memahami.
"Itu tadi .… Maaf, aku lari buru-buru ke sini gara-gara berita itu. Dan aku enggak sengaja nabrak Mbak .…" Perempuan dengan wajah bulat manis itu sedikit menundukkan kepalanya, suaranya pelan menunjukkan tanda penyesalan.
Berita.
Kata itu menusuk telinga Livia, membuat kepalanya secara otomatis berbalik ke arah layar daftar nama. Ia menatap layar itu dengan bulir hangat yang menggenang di pelupuk mata, ingin menangis tapi entah mengapa tubuhnya menolak. Barangkali hatinya masih mencoba bernegosiasi dengan harapan, berharap keajaiban akan terjadi.
"Maaf .… Saya menyusahkan Mbak. Mungkin saya pingsan bukan karena tabrakan sama Mbak, tapi karena syok dengan berita itu." Livia menghadap kembali pada perempuan di sisinya.