Di hari pertama setelah pihak bandara selesai mendata, mereka meminta pihak keluarga membawakan bukti tentang hubungannya dengan para korban, dan di hari kedua ini maskapai penerbangan melakukan konfrmasi dari sederet dokumen yang dibawa oleh para keluarga korban.
Livia mengembuskan napas panjang, seolah mencoba melepaskan beban yang sejak kemarin terus menusuk dadanya. Setelah menyerahkan dokumen yang membuktikan hubungannya dengan Reiner, ia kembali duduk di kursi tunggu, menatap lelah bandara yang tak banyak berubah sejak kemarin. Kursi yang dipilihnya adalah kursi paling belakang: baris keempat dari empat baris. Ia sengaja memilih duduk di sana karena barisan itu paling sepi, seakan bisa memberinya sedikit ruang untuk bernapas di tengah sesak yang tak kunjung reda.
Bandara masih dipenuhi raut wajah yang sama, penuh harap, lelah dan putus asa. Beberapa keluarga korban sepertinya masih bertahan di sana, tak beranjak dari tempat duduk mereka. Ada yang tampaknya sudah bermalam, mungkin karena rumah mereka yang jauh, atau mungkin mereka takut untuk menerima kabar buruk saat ada di rumah mereka yang jauh itu.
Livia menatap satu per satu wajah pucat penuh harap dengan lingkaran hitam di bawah mata itu, tak ada beda dengan dirinya sendiri yang terlihat masih berusaha menggenggam harapan sekecil apa pun untuk orang yang mereka cintai.
Sekali lagi ia menarik napas panjang. Sampai hari ini, air matanya menolak untuk jatuh. Bukan karena ia merasa kuat, tapi karena jauh di dalam hatinya masih ada sedikit harapan bahwa Reiner akan kembali. Bahwa perpisahan ini hanya sementara.
Tatapannya bergerak ke sekeliling, sampai akhirnya berhenti di layar yang menampilkan berita hilangnya pesawat beserta daftar nama penumpangnya. Dadanya kembali sesak ketika melihat nama suaminya ada di antara deretan panjang itu.
Reiner pasti akan pulang.
Dia akan kembali kepadaku dan Mary dalam keadaan selamat.
Sembari berdoa lirih, Livia menunduk pelan, memutar perlahan cincin kawin di jari manis tangan kanannya. Gerakan itu kini jadi caranya menenangkan diri.
"Mbak."
Suara itu berasal dari perempuan yang menolong Livia kemarin, ia menolah sembari memindainya sekilas. Tidak ada terlalu banyak perubahan darinya kecuali tas punggung yang baru Livia sadari keberadaannya..
"Iya, Mbak," balas Livia pelan.
Perempuan itu berjalan menghampiri Livia lalu duduk di sebelah kirinya. Tangannya masih menggenggam dokumen pernikahan, lembaran kertas yang sama seperti yang Livia serahkan pada petugas bandara, bukti legal bahwa dirinya punya hak untuk mendapatkan informasi, punya hak untuk menanti.
"Mbak sudah ke sana?" tanyanya lembut, sambil menunjuk ke arah meja informasi yang tadi Livia datangi untuk menyerahkan dokumen.
"Sudah."
"Sudah dari tadi?" tanyanya lagi sambil memasukkan dokumen ke dalam tas punggungnya.
Livia menatap sesaat teman bicaranya itu. Wajahnya tak lebih baik darinya, mata sembab dan lingkaran hitam terlihat jelas di sana. Kemarin perempuan itu terlihat tegar. Tapi hari ini ia sudah memperlihatkan kerapuhannya.
"Sudah," jawab Livia singkat. Lalu buru-buru menambahkan, "Yang kemarin, makasih banyak. Saya sudah ngerepotin sekali, padahal kita enggak saling kenal."
Perempuan itu tersenyum tipis. Senyumnya lelah tapi ada ketulusan di dalamnya. Ia lalu mengulurkan tangannya.
"Kalo gitu boleh kita kenalan? Aku Rury."