Pagi masih berkabut ketika Livia kembali melangkah masuk ke dalam bandara untuk ketiga kalinya. Udara masih dingin dan embusan angin pagi membuat ikatan rambutnya yang asal-asalan bergoyang pelan. Ia belum sempat mencuci rambut dan entah kenapa, hal kecil seperti itu tak lagi terasa penting. Wajahnya tampak lebih tenang dari kemarin. Tapi sorot matanya masih belum pulih sepenuhnya dari lelah yang menggantung sejak malam-malam sebelumnya.
Hari ini ia datang lagi tanpa Mary. Putrinya itu dititipkan pada ibunya seperti dua hari terakhir. Pagi ini ada sedikit kabar, pihak maskapai menyebutkan bahwa puing-puing pesawat telah ditemukan. Belum ada kepastian, tapi itu sudah cukup membuat jantung Livia berdetak lebih cepat. Mungkin karena takut, mungkin juga karena harapan.
Begitu memasuki ruang tunggu, Livia langsung disambut riuh keramaian. Bandara kini berubah menjadi lautan emosi yang campur aduk. Di beberapa sudut, keluarga korban bergerombol, wajah mereka dipenuhi cemas dan lelah. Beberapa menangis sambil memeluk satu sama lain, beberapa sibuk dengan ponselnya, mungkin menghubungi sanak saudara. Anak-anak menangis kelelahan, sementara lansia duduk lemas di kursi tunggu.
Di dekat pintu kedatangan, barikade petugas keamanan berusaha menahan kerumunan wartawan yang mulai memenuhi lorong utama. Kamera diarahkan ke wajah-wajah yang dianggap 'paling menarik' untuk menangis keras atau menunjukkan emosi paling kuat. Suara blitz, teriakan pertanyaan dan desakan para pencari berita membuat suasana semakin kacau.
Livia mempercepat langkahnya, menunduk agar tak menarik perhatian. Ia menuju kursi yang sama seperti kemarin, baris keempat paling belakang, agak tersembunyi dari keramaian keluarga korban lainnya dan sorotan media. Tempat itu memberinya ruang untuk bernapas meski tak benar-benar lega. Di tengah kekacauan itu, ia hanya ingin duduk, menunggu dan berharap akan ada kepastian secepatnya.
"Mbak."
Suara itu mengagetkannya. Livia menoleh ke kanan dan mendapati Rury berdiri di sana, masih mengenakan tas punggung yang sama, wajahnya terlihat lebih tegar meski tak bisa menghilangkan guratan lelah di sana. Ia tak menyangka akan bertemu lagi dengan Rury secepat ini.
Rury hanya tersenyum kecil, lalu tanpa banyak bicara, ia duduk di samping kiri Livia, persis seperti hari sebelumnya.
Tak ada obrolan yang mengalir di antara mereka setelah itu. Hanya keheningan yang terasa sedikit nyaman, dua perempuan itu saling memahami dalam diam bahwa mereka sama-sama sedang menunggu kepastian.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama.
Suara gema di lantai dari derap sepatu hak yang tergesa membuat setiap kepala menoleh. Seorang perempuan berjaket hitam panjang dengan topi hitam dan kacamata gelap melangkah masuk dengan napas memburu. Di belakangnya, menyusul perempuan lain dengan hoodie yang hampir menutupi wajahnya, ia juga berkacamata tapi sepertinya benda itu memang untuk membantu penglihatannya..
Sekelebat ingatan mendatangi Livia.
Mereka adalah dua perempuan yang ia lihat pada hari pertama. Duduk satu deret dengannya dan melapor hal yang sama: bahwa mereka adalah istri dari korban pesawat yang hilang.
Livia belum mengenal mereka, tapi satu hal langsung menarik perhatian: cara mereka berjalan terburu-buru seolah sedang dikejar sesuatu. Dan memang benar, di belakang mereka, suara teriakan di antara banyak wartawan yang ditahan petugas bandara sepertinya tertuju pada salah satu perempuan itu.
"Mbak Thalia, sebentar!"
Livia memiringkan kepalanya tidak memahami apa yang istimewa dari nama itu. Tapi tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan jawaban karena Rury yang duduk tepat di sampingnya menoleh ke arah yang sama lalu bergumam.
"Hah? Thalia? Yang model terkenal itu?"
Model terkenal? Livia kembali melihat ke arah dua perempuan itu dan menemukan mereka sedang berjalan cepat menuju ke arahnya. Di balik topi dan kacamatanya perempuan itu menundukkan kepala seperti tak ingin menarik perhatian lebih dari ini. Namun langkah tergesanya justru membuatnya kehilangan kendali. Dalam sekejap, kakinya menyandung kaki seseorang yang duduk di sampingnya setelah melewati Livia.