Gue berjalan menuruni tangga dan langsung melesat menuju dapur untuk mencari minum. Waktu lagi enak-enaknya minum, gue dikejutkan oleh pukulan pelan di bahu. Sontak saja air yang ada di dalam mulut ini hampir gue semburkan ke orang yang berhasil mengusik gue.
Gue mendesis keras menyadari siapa yang sudah mengganggu gue minum. Kalau tahu orangnya dia, gue malah akan dengan sengaja menyemburkan air dari dalam mulut ini.
"Iyuh, jorok!" seru Kak Andrew sembari mengusap wajahnya pelan karena mungkin wajahnya terkena sedikit cipratan air dari mulut gue.
Mampus! Walaupun sedikit, tapi gue tetap senang. Akhirnya gue memajukan mulut bersiap untuk menyemburkan air yang kini masih berada di mulut. Baru saja gue hendak menyemburkannya, dengan gerakan secepat kilat, Kak Andrew meraih botol air yang ada di tangan gue lalu langsung meneguk sisa airnya dan malah menyemburkannya ke wajah gue.
Kurang ajar! Alhasil gue menjerit keras karena ulahnya. "ANDREEWW!!"
"Eits, kurang ajar! Lo gak manggil gue Kakak," serunya lalu langsung menjitak kepala gue.
Gue kembali mengerang sambil menatap anarkis ke arahnya. Kak Andrew memang spesies Kakak durhaka!
"Lo yang kurang ajar! Kenapa muka gue disembur!"
Dan akhirnya, kepala gue ini kena jitakan lagi. Heh! Gue lupa, gue nggak manggil Kak Andrew dengan sebutan Kakak lagi.
Tarik napas dan hembuskan, gue melakukan itu berulang-ulang kali untuk meredam emosi yang semakin memuncak gara-gara ulah Kak Andrew. Akhirnya gue tatap dia sekali lagi sambil menyunggingkan senyuman sok manis. "Kak Andrew yang ganteng, kenapa lo nyembur gue? Hmmm?"
Gue lihat Kak Andrew tersenyum malu-malu lalu segera menutupi seluruh wajahnya dengan tangan. Dia kenapa sih? Pake ala-ala memasang wajah sok tersanjung lagi dengan ucapan gue.
"Gue tau gue ganteng, banyak di luaran sana yang pengen jadi pacar gue. Tapi, salah satunya jangan adek gue sendiri juga."
Gue memutar bola mata malas setelah mendengar ucapannya. Kenapa gue bisa punya Kakak spesies kayak gini sih! Sayang, ganteng-ganteng tingkahnya mirip banci Thailand. Kasihan deh cewek yang naksir ke dia, pasti mereka belum tahu sifat sebenarnya Kak Andrew yang bisa dibilang jauh dari sifat biasa kaum adam lainnya.
"Gue serius," seru gue sambil memasang ekspresi datar.
"Gue juga serius. Lo lumayan lah, ya gak jelek-jelek amat. Tapi jangan jatuh cinta sama gue, gue ini Kakak lo."
Refleks setelah mendengar ucapannya, gue langsung menginjak kaki jenjangnya dan berhasil membuat dia meringis kesakitan.
"Woi! Adek durhaka lo!" teriak Kak Andrew sembari memegang kakinya yang gue injak tadi.
"Lo yang durhaka! Kenapa gue disembur tadi!"
"Lo yang duluan nyembur gue! Tuh buktinya!" serunya sambil menunjuk wajahnya. Padahal jelas-jelas wajahnya sudah bersih tidak terlihat air hasil cipratan dari mulut gue tadi.
"Itu kan gak sengaja!"
"Ya tetep aja! Tadi lo sengaja mau nyembur gue lagi!"
"Tapi lo kan yang akhirnya duluan nyembur gue!"
"Itu namanya senjata makan tuan!"
Gue menghela napas kasar berusaha meredam emosi. Namun sedetik kemudian, gue merasakan jitakan di kepala gue lagi.
"Woi! Kenapa gue dijitak!" pekik gue sambil menatap tajam ke arahnya.
"Karna lo gak manggil gue Kakak dari tadi. Udah berapa kali, ya?" tanyanya pada diri sendiri sambil menggerak-gerakkan jarinya kembali seolah tengah menghitung ucapan gue yang tak memanggilnya dengan sebutan Kakak. "Oh! Ada sepuluh kali lebih. Sini, gue jitak lagi," serunya sembari kembali meraih kepala gue hendak memberi jitakan lagi.
Gue refleks menghindar melihat Kak Andrew hendak meraih kepala gue. "Gak! Gak ada. Gak lebih dari sepuluh kali, ya!" seru gue. "Lagian lo juga durhaka gak manggil gue adek. Sini gue jitak juga," seru gue lalu segera hendak menjitak kepala Kak Andrew tapi Kak Andrew segera meraih tangan gue.
"Gak! Gak ada sejarahnya kakak durhaka sama adek. Karna hukum alamnya, kakak itu selalu benar!"
Gue berdecih sinis. Hukum alam apanya! Hukum alam pantatmu!
"Tadi lo gak manggil kakak lagi barusan. Sini kepala lo!" serunya lagi sembari menggerak-gerakkan tangannya agar gue mendekat ke arahnya.
Gue berdecak kesal. "Ogah! Belum cukup lo tadi sembur gue, sekarang lo malah mau jitak gue! Bekas semburan lo bahkan masih ada nih. Jorok tau gak ihh!" seru gue sambil mengibas-ibaskan tangan di depan wajah.
Gue melihat Kak Andrew tersenyum miring. "Seharusnya lo bersyukur karna gue nyembur lo kayak gitu. Siapa tau semburan mbah dukun gue ampuh bikin banyak cowok jadi klepek-klepek sama lo. Secara selama ini, kan lo gak pernah ada yang nge-gandeng gitu. Mungkin lo kurang menarik." Kak Andrew diam sebentar. "Tapi emang lo gak menarik sih, secara lo bobrok kayak gini. Gue aja sebagai kakak gak ada tertarik-tertariknya sama lo." lanjut Kak Andrew sambil memasang muka sok polosnya.
Gue langsung mengepalkan tangan dengan kuat setelah mendengarkan serentetan omongannya tadi.
"KAK ANDREEEWW!!" gue berteriak lagi dan teriakan gue ini sukses membuat Kak Andrew langsung lari terbirit-birit meninggalkan dapur. "Kurang ajar lo! Lo ngatain gue gak laku!" teriak gue sambil berlari ke arah ruang tamu mengikuti Kak Andrew. "Lo harusnya sadar! Gue ini cantik! Mirip Seulgi Red Velvet!"
Mendengar ucapan gue, sontak Kak Andrew berhenti melangkah. Dia lalu berbalik menatap gue, "Ngaca dong! Yang ada lo lebih mirip upilnya Seulgi!"
Gue mengerang keras lagi hendak memukul Kak Andrew. Namun, langkah gue langsung terhenti ketika melihat Mama yang kini baru keluar dari kamarnya. Gue terbelalak pelan karena melihat dia menenteng sebuah koper juga.
"Kamu belum siap-siap?" tanya Mama pada Kak Andrew.
Siap-siap apa? Sebenarnya Mama dan Kak Andrew mau ke mana?
Gue memandang Kak Andrew seolah bertanya ada apa. Tapi, saat gue melihat wajahnya, terlihat Kak Andrew sedikit kikuk lalu langsung memutuskan kontak mata dengan gue. Gue otomatis langsung memandang ke arah Mama.
"Andrew gak usah ikut, Ma. Biar Andrew di sini aja nemenin Natt."
"Jangan gila kamu! Kamu harus ikut karna harus bantuin Papa juga di sana. Sekalian kita juga bisa liburan keluarga, kan? Cepet siap-siap, Sica juga udah nunggu lama di bandara."
Gue semakin terperangah mendengar ucapan Mama. Mereka mau liburan? Kenapa di sini cuma gue yang nggak tau? Apa mereka akan liburan keluarga tanpa gue?
"Kakak mau pergi liburan? Kok Natt gak tau?" tanya gue lirih sambil menatap Kak Andrew, sementara Mama sudah berjalan keluar menuju mobilnya.
Gue lihat Kak Andrew menatap gue dengan tatapan lirih. Dari sorot matanya saja, dapat gue lihat ada sesuatu yang bakal buat hati gue sakit lagi kali ini.
"Kakak gak liburan, Natt. Kakak di sana mau bantuin pekerjaan Papa."