Renata Keyla

Fiha Ainun
Chapter #9

SWEET DREAMS

Sudah seminggu ini gue ditinggal sendirian di sini, dan seminggu juga gue tidur sendirian. Sering kali Bibi menawarkan dirinya untuk menginap saja di rumah ini tapi selalu gue tolak. Dia juga punya keluarga sendiri, dia punya suami. Mana mungkin gue dengan teganya membiarkan Bibi tidak tidur di rumah bersama keluarganya.

Kini hidup gue yang sepi jadi semakin sepi. Seenggaknya dulu ada Kak Andrew dan Kak Sica yang mampu buat hari-hari gue jadi berwarna. Entah itu dengan sifat jahilnya Kak Andrew, atau serentetan omelannya Kak Sica yang mampu membuat gue kadang bergidig ngeri sendiri membayangkannya. Namun justru hal kecil seperti itulah yang sangat gue rindukan saat ini.

Gue juga bohong ke Papa dan Kak Andrew kalau gue takkan tidur sendiri. Nyatanya sekarang gue malah sendiri. Gue tak mau merepotkan teman-teman yang lain. Walaupun gue sadar manusia tidak bisa hidup secara individu, namun kali ini gue meyakinkan diri agar gue bisa. Gue harus bisa!

Baru saja gue berkata seperti itu, tiba-tiba listrik di rumah gue mati, bersamaan pula dengan suara petir dari luar yang menggelegar kencang.

Gue takut. Gue benar-benar takut. Apa yang harus gue lakukan?

Di luar tengah hujan deras, juga petir masih terdengar meletup-letup dengan keras enggan untuk berhenti. Ditambah keadaan listrik di rumah ini yang tiba-tiba mati. Ada yang lebih mengenakkan dari ini?

Gue takut. Bahkan gue sampai tak sadar kalau gue menangis kembali. Apa yang harus gue lakukan sekarang?

Akhirnya gue meraih ponsel yang berada di atas nakas dan langsung membuka grup chat Geng somplak.

Guys, please, dateng ke rumah gue!

Gue sendirian di sini!

Gue takut.

Gue tarik kembali perkataan tadi yang gue yakini gue bisa hidup secara individu kali ini. Karena nyatanya, gue tak bisa hidup sendiri. Takkan pernah bisa.

***

Sekarang gue tengah duduk di sofa ruang tamu dikelilingi sembilan sahabat gue yang kini tengah menatap lekat ke arah gue. Dan keadaan lampu di rumah juga kini sudah menyala kembali, sehingga membuat gue sedikit merasa lega. Hujan di luar masih mengguyur bumi tapi suara petirnya sudah tak terdengar lagi. Gue bersyukur punya sahabat seperti mereka, seenggaknya mereka benar-benar ada disaat gue butuh. Mereka rela datang bahkan disaat petir tengah meletup dengan kencang-kencangnya di luar sana. Ternyata sahabat gue selalu ada, bukan ada sewaktu gue merasa senang saja.

Tadi, setelah gue mengirim pesan seperti itu ke Grup Chat, Yuna yang datang terlebih dulu ke rumah gue, karena kebetulan rumah kami yang memang berdekatan. Karena gue tak mengunci rumah, akhirnya Yuna langsung menghampiri gue dan langsung memeluk gue yang tengah meringkuk sambil menangis sendirian di dalam kamar. Gue bernapas lega, seenggaknya ada yang membaca pesan dari gue. Dan gue semakin bernapas lega karena semua teman gue membacanya, dan semuanya juga ikut datang ke rumah gue.

"Gue gak nyangka, ternyata lo bisa setega itu sama gue, Natt." Yuna menggeleng tak percata. "Kita udah temenan dari orok, dan lo masih tega-teganya ngerahasiain ini dari gue?"

Gue menghembuskan napas pelan, berusaha menahan air mata yang hendak keluar lagi. Tadi, gue baru saja menceritakan tentang masalah pribadi gue. Iya, tentang sikap Mama selama ini. Benar kata Devin, setelah meluapkan semuanya, gue perlahan mulai tidak merasa sepi lagi. Seenggaknya ada orang yang mampu memberi gue solusi saat ini.

Gue lihat Yuna juga menghela napas berat. "Sejujurnya gue ngerasa marah sama lo, Natt. Tapi, apa gue bisa marah setelah mendengar semua masalah lo yang bahkan bikin gue miris sendiri?" seru Yuna dan langsung menghambur ke pelukan gue.

Melihat Yuna yang memeluk gue, sontak Ara dan Sesil juga ikut memeluk gue. Gue dengar isakan-isakan pelan dari mereka. Air mata gue jatuh lagi. Untuk kesekian kalinya jatuh lagi. Tapi gue bersyukur, kali ini air mata gue jatuh bukan karena untuk meratapi nasib, tapi karena rasa terharu memiliki sahabat-sahabat yang begitu mengerti gue seperti ini.

"Gue ikutan ah!" seru Joshua hendak ikut memeluk gue juga, namun pergerakannya langsung terhenti ketika mendapat tatapan mengintimidasi dari Sesil.

Perlahan mereka mulai melepas pelukannya. Gue pun mengusap air mata begitu pun dengan mereka.

Lihat selengkapnya