Apa yang harus kulepaskan Jika aku tak pernah menggenggamnya?"
- Renata keyla
***
Gue berjalan keluar kelas sambil sesekali berkaca dengan ponsel. Gue meraba kantung mata yang terlihat sedikit menghitam. Gue mengeluh, padahal gue sudah melapisinya dengan bedak setebal mungkin, namun tetap saja lingkaran hitam itu masih tampak terlihat.
Gue menoleh sekilas menatap dosen yang kini berjalan berlawanan arah dengan gue. Gue menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki karena merasa kesal pada dosen itu. Jelas saja gue kesal! Gue rela begadang demi mengerjakan tugas dari dia. Tapi, dia dengan seenak jidatnya menolak tugas dari gue. Dia bilang, tugas gue benar-benar berantakan, bahkan anak TK pun bisa mengerjakan sama persis seperti milik gue. Sialan nggak? Ingat woy! Anak TK gak belajar ginian! Apa dia tak pernah TK?!
Gue berbalik lalu menunjuk dosen itu yang mulai berjalan menjauh. "Gue sumpain rambut lo gak tumbuh lagi!" teriak gue sambil mengacak rambut dengan kasar.
Adin yang baru keluar dari kelas langsung terkekeh melihat tingkah gue. "Haha! Sampe lo punya cucu pun, rambut dia udah gak bakal tumbuh lagi!"
Gue menatap Adin dengan sinis lalu mendengus. "Ngomong nih sama sendal gue!" seru gue sambil melepas sandal lalu mengarahkannya tepat pada wajah Adin yang sukses membuat dia langsung meringis jijik sementara gue cuma terkekeh pelan melihatnya.
Gue berjalan pergi meninggalkan Adin dengan mulut yang terus menyumpah serapahi dosen botak killer itu karena sudah berhasil membuat mata gue yang cantik ini jadi mirip mata panda. Kurang ajar memang. Kenapa sih dia itu terlihat seperti memusuhi gue? Apa salah gue coba.
"Kalo tau gini, lebih baik gue gak usah rela begadang buat ngerjain tugas dari dia. Ah sial! Tadi-tadi gue gak usah--aduh!" Gue langsung menghentikan ucapan saat merasakan kening ini bertubrukan dengan dada bidang seseorang yang berjalan dari balik tembok yang gue lewati.
Gue meringis lalu segera memundurkan badan. Sambil mengusap kening yang sedikit sakit, gue mendongak. "Maaf, gue--" Gue kembali menghentikan ucapan ketika menyadari siapa yang gue tabrak tadi.
Gue membeku. Diam menatap matanya tanpa bisa mengalihkan sedikit pun. Cukup lama gue berpandangan dengannya sebelum gue mendengar suara seorang perempuan yang memanggil dia hingga otomatis membuat gue mengalihkan kontak mata di antara kami.
"Devin, tunggu--Natt!" pekik Yuna yang terlihat begitu terkejut ketika menyadari kehadiran gue. "Lo ke mana aja?" serunya sambil meraih bahu gue dan mengguncangnya pelan.
Gue tersenyum tipis. "Gue gak ke mana-mana."
Yuna mendengus pelan. "Lo pikir gue gak tau? Adin bilang lo udah tiga hari ini gak masuk kelas! Lo gak sakit, kan?" tanya Yuna intens.
Gue tersenyum miring mendengarnya. Gue memang tidak masuk kuliah selama tiga hari itu. Karena apa? Karena gue ingin menghindar dari Devin. Namun nyatanya, takdir malah kembali mempertemukan kami seperti sekarang.
Fisik gue gak sakit, tapi batin gue yang kesakitan. Itu karena apa? Karena lo, Yuna!
Ingin sekali gue mengatakan itu pada Yuna, tapi gue tak mau. Gue tak harus menyalahkan Yuna tentang ini karena Yuna tidak salah apa-apa. Dia justru yang jadi korban karena mungkin saja dia hanya dijadikan pelarian oleh Devin.
Nggak! Mungkin dari dulu Devin sudah lebih menyukai Yuna dibanding gue!
"Natt...," panggil Yuna lembut. "Jawab gue. Lo ke mana selama tiga hari ini?"