"Jangan menangis sendirian. Setidaknya harus ada orang lain yang menghapus air mata lo, walaupun orang itu bukan gue."
- Devino Xavier -
***
Gue memasuki rumah mengekori Kak Andrew yang melangkah dengan cepat di depan. Entah kenapa gue merasa was-was saat ini. Gue merasa sedikit takut untuk bertemu Mama sekarang. Jelas saja gue takut, hampir dua bulan lamanya gue tak pernah melihat dia. Jujur gue rindu Mama. Tapi, apa Mama juga merindukan gue? Jawabannya sudah tentu tidak.
Gue menghembuskan napas berat. Gue menatap sekeliling mencari keberadaan Mama tapi tak gue lihat. Mungkin dia ada di dalam kamarnya. Akhirnya gue mulai menaiki tangga. Dan tepat ketika kaki gue berada di anak tangga ketiga, gue mendengar suara pintu kamar Mama terbuka.
Gue menoleh dan menatap Mama yang kini berjalan menuju ruang keluarga. Entah ada keberanian yang datang dari mana, gue berbalik dan sedikit berlari lalu langsung memeluk Mama dari belakang.
Gue merasakan tubuh Mama menegang karena merasakan keterkejutan. Dan dengan sekali sentakan, Mama berbalik badan dan langsung mendorong tubuh gue hingga tersungkur di lantai.
Gue merintih kesakitan. Gue tatap Mama yang kini tengah menatap gue dengan tatapan penuh amarah dan emosi. Kenapa? Bukankah seorang ibu harusnya segera menolong anaknya sendiri ketika melihat anaknya sekarang tengah terluka? Heh, lupakan! Bahkan jika Mama melihat gue mati sekali pun, dia tak akan pernah menangisinya.
"Natt!" pekik Kak Andrew yang tadi sudah berada di ambang pintu kamarnya, dia langsung berlari menghampiri gue yang masih terduduk di lantai yang dingin itu.
Dengan dibantu Kak Andrew, gue akhirnya berdiri. Gue tatap Mama yang kini masih menatap gue dengan tajam. Gue harus tahu. Pokoknya sekarang gue harus tahu alasan Mama kenapa bisa sebegitu bencinya sama gue.
"Ma," panggil gue pelan. "Apa Mama nggak rindu sama aku setelah dua bulan kita nggak ketemu, Ma?" Gue terkekeh sendiri mendengar ucapan yang berasal dari mulut ini. Rindu? Rindu apanya!
"Aku ingin dipeluk Mama," lirih gue. Sial! Air mata gue kini sudah berhasil lolos lagi dari pertahanannya.
Mama langsung membalikkan badan seolah tak peduli dengan ucapan gue.
"Ma!" panggil gue dengan suara keras hingga membuat langkahnya kembali terhenti. "Apa pernah Mama memelukku? Bahkan sedari kecil aku gak pernah merasakan hangatnya pelukan Mama!"
"Natt...," panggil Kak Andrew lirih sambil meremas bahu gue pelan berusaha menenangkan.
Gue segera menepis tangan Kak Andrew. "Apa? Karna Mama gak sayang sama aku? Tapi, kenapa Mama bisa sayang sama Kak Andrew dan Kak sica sementara sama aku nggak!" teriak gue lagi. "Mama pikir aku gak cemburu ngeliat itu? Aku cemburu, Ma! Aku sakit hati!"
"Udah, Natt," seru Kak Andrew lagi, namun tetap tak gue hiraukan.
"Aku ini sama-sama keluar dari rahim Mama. Tapi kenapa Mama malah membeda-bedakan--"
"DARI AWAL PUN KAMU GAK PERNAH KELUAR DARI RAHIM SAYA!"
Degh!
Tubuh gue membeku mendengar ucapan Mama. Apa yang baru saja Mama katakan? Itu tidak benar, kan? Mama cuma emosi sesaat, kan?
"A-apa? Maksud Mama apa?" tanya gue dengan suara tercekat.
Terlihat Mama mengepalkan tangannya dengan raut wajah yang memerah. "Kamu bukan anak saya! Kamu gak pernah keluar dari rahim saya!"
Ucapannya sontak membuat gue bungkam dengan air mata yang kini mengalir lebih banyak dari yang tadi. Nggak! Ini nggak benar! Ini nggak mungkin! Jelas-jelas gue tinggal di sini dengan Mama, mana mungkin gue ini bukan anaknya!
Gue menggeleng pelan sambil menghapus air mata dengan punggung tangan. "Nggak, Ma. Mama cuma emosi sesaat, kan? Mama gak boleh ngomong gitu, aku ini anak Mama...."
"Kamu bukan anak saya! Dan saya tidak pernah sudi menganggap kamu anak saya! Karena keberadaanmu yang membuat rumah tanggaku berantakan!" teriak Mama lagi yang berhasil membuat gue kini semakin terisak.