Renata Keyla

Fiha Ainun
Chapter #21

MY MOTHER

Gue merasakan ranjang di sebelah berdecit. Gue hanya diam saja, membiarkan mata ini terpejam walaupun sebenarnya sedari tadi gue belum tertidur.

Gue merasakan belaian lembut di kepala, dan gue dapat langsung menyadari tangan milik siapa itu. Tangan yang selalu membuat gue rindu kehadirannya karena dia selama ini selalu jarang di rumah.

"Atas nama Mama, Papa minta maaf ya sayang," Papa mulai membuka suara sambil membelai lembut rambut gue. "Papa tau, kamu mungkin sakit hati sama ucapan Mama. Tapi, Papa yakin Mama gak bermaksud kayak gitu."

Saat ini gue terus menggigit bibir bawah sekadar untuk menahan isakan, karena saat ini gue mulai mengeluarkan air mata.

"Kamu anak Papa, selamanya tetap jadi anak Papa," serunya setengah berbisik di telinga gue.

Akhirnya gue merasa tidak tahan dan langsung bangkit untuk memeluk Papa. Papa terkejut bukan main melihat gue yang ternyata belum tertidur.

"Yang Mama omongin semuanya gak bener, kan? Aku anak Mama sama Papa, kan Pa?" tanya gue di sela isak tangis.

Papa kembali membelai rambut gue di tengah pelukannya. "Kamu anak Papa, sayang...."

Mendengar ucapan Papa, gue langsung melepaskan pelukan dengan sekali sentakan. "Papa selalu bilang aku ini anak Papa! Tapi Papa gak pernah bilang kalau aku ini anak Mama!"

Papa diam yang membuat gue langsung menarik napas berat. "Jadi bener? Aku bukan anak Mama?" tanya gue dengan napas tercekat.

Papa kembali diam. Kenapa Papa tidak menjawabnya? Apa semua yang Mama katakan itu benar? Kalau pun benar, lalu, gue ini anak siapa? Siapa ibu kandung gue?

"Kenapa Papa gak jawab?" tanya gue pelan. "Siapa ibu kandungku, Pa?"

Papa menghela napas berat lalu mengusap pipi gue dengan lembut. "Papa pikir, sekarang kamu udah dewasa. Jadi, sekarang sudah waktunya kamu harus tau ini."

Ucapan Papa sontak membuat gue bungkam dan mengeryit bingung. Gue harus tahu apa? Apa selama ini ada rahasia besar yang belum gue ketahui?

"Ini." Papa menyerahkan sebuah foto. Foto seorang wanita cantik yang terlihat sangat anggun walaupun hanya memakai pakaian casual itu.

Terlihat backround di foto itu memperlihatkan pemandangan rerumputan hijau yang benar-benar masih sangat terlihat asri. Gue tahu tempat ini, karena saat SMA, gue pernah berlibur ke sana bersama dengan Kak Sica. Foto ini diambil di Pulau Jeju, gue sangat yakin seratus persen dengan itu.

Gue mengeryit bingung. "Siapa ini, Pa?"

Papa menunduk sebentar lalu kembali mendongak menatap gue. "Namanya Im Seoyeon. Dia..." Papa menggantungkan kalimatnya yang semakin membuat gue menatap Papa dengan penasaran. "Dia ibu kandungmu."

Tubuh gue membeku seketika mendengar fakta ini. Jadi, benar apa yang dikatakan Mama kalau gue bukan anaknya? Dan ini, wanita di foto ini adalah ibu kandung gue sendiri?

Gue tatap Papa untuk meminta kepastian lagi, namun Papa justru malah menatap gue dengan wajah seriusnya menandakan Papa tidak berbohong tentang ini.

Tes!

Gue menangis lagi. Entah kenapa gue menangis lagi. Gue benar-benar syok mengetahui fakta ini. Pantas saja selama ini Mama selalu membenci gue, karena nyatanya gue memang benar-benar tak pernah terlahir dari rahimnya.

"Lalu, di mana ibu kandungku sekarang?" tanya gue sambil melirik Papa sekilas lalu kembali mengelus wajah ibu kandung gue di foto itu.

"Dia udah nggak ada, sayang."

Napas gue kembali tercekat. Apa maksud Papa? Maksud Papa, ibu kandung gue sudah meninggal? Apa Papa tengah bercanda? Hah, gue bahkan belum bertemu dengannya. Jadi, tak mungkin ibu kandung gue sudah meninggal!

Akhirnya gue tatap Papa lagi untuk meminta penjelasan.

Papa menghembuskan napas lalu kembali menatap gue. "Mama kamu meninggal saat melahirkanmu."

Alhasil, air mata gue kembali mengalir di pipi lagi. Sebegitu beratkah perjuangan seorang ibu sampai ia harus meninggal ketika melahirkan anaknya? Ibu kandung gue meninggal saat melahirkan gue. Tapi, bahkan selama ini gue tak tahu tentang masalah ini. Gue tak tahu kalau memiliki ibu yang berbeda dan ibu kandung gue sudah meninggal.

"Sebenarnya..." Papa diam sejenak untuk menarik napasnya. "Sebenarnya dulu Papa menikah dengan Mamamu. Dan Mamamu sama sekali gak tau kalau saat itu Papa sudah mempunyai istri." Ucapan Papa sontak membuat gue terdiam membisu.

"Dan saat itu posisinya Seoyeon tengah mengandung kamu, dan dia kebetulan mengetahui kalau Papa sudah beristri. Jadi, dia memutuskan untuk merawat kamu sendirian dan berencana meminta cerai pada Papa ketika kamu sudah lahir. Tapi ternyata, takdir berkata lain. Seoyeon harus meregang nyawa saat melahirkanmu."

Gue langsung terisak kencang mendengar penjelasan Papa. Gue peluk foto Mama karena sangat merasa bersalah sudah membuat dia harus kehilangan nyawanya saat melahirkan gue.

"Papa bingung harus berbuat apa. Akhirnya Papa bawa kamu pulang, dan itu membuat Mama Namira marah besar dan mau buang kamu dengan paksa."

Papa diam sebentar. "Papa berusaha meyakinkan kalau Papa menyesal sudah menduakan Mama Namira dan Papa tetap akan merawatmu. Akhirnya Mama Namira membiarkanmu tinggal di sini, tapi ia tetap takkan mau merawatmu. Beruntung kedua kakakmu sangat menyukaimu dan mereka yang selalu bantu Papa untuk merawatmu sejak kecil. Mereka benar-benar tulus untuk menyayangimu, sayang...."

Akhirnya gue beralih untuk memeluk Papa dan langsung dibalas juga oleh Papa. "Maafin aku, Pa. Karna keberadaanku di sini sudah membuat keluarga Papa berantakan," seru gue disela isak tangis.

Papa menggeleng sambil mengelus lembut rambut gue. "Nggak sayang, justru keberadaan kamu buat Papa sangat bahagia. Maaf, gara-gara ulah Papa dulu kamu yang sekarang merasa sakit hati karena fakta ini."

Gue mendongak menatap Papa. "Papa menyesal dulu pernah menikah sama Mama Seoyeon?"

Mendengar pertanyaan gue sontak langsung membuat Papa menggeleng. "Nggak, sayang. Papa gak pernah merasa menyesal sama sekali. Papa bahagia dulu sempat mengenal ibumu. Dia benar-benar gadis cantik dan baik hati yang pernah Papa temui," jawab Papa. "Justru Papa menyesal karena dulu sempat membohongi Seoyeon," lanjutnya sambil berusaha untuk menahan air matanya.

Gue tatap Papa lagi yang saat ini matanya mulai terlihat memerah. "Menangislah, Pa," seru gue pelan. "Jangan katakan apapun, Papa hanya perlu menangis saja. Dan biarkan aku yang akan menghapus air mata Papa."

***

Gue berjalan menuruni tangga sambil sesekali merapikan rambut panjang gue.

"Pagi," sapa Kak Andrew yang kebetulan berjalan ke luar rumah melewati gue.

Gue hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman.

Lihat selengkapnya