"Dibilang gak cemburu, nyatanya aku cemburu. Mau bilang cemburu, aku tak punya hak untuk itu. Kenapa kisah cintaku jadi serumit itu?"
- Renata Keyla -
***
Gue melangkah dengan enggan keluar kampus. Gue melirik jam yang melingkar di tangan, pukul 17:00. Ahh, rasanya lelah sekali karena seharian ini hanya berdiam diri di dalam kelas. Kenapa juga hari ini semua dosen harus masuk. Malesin banget!
"Kak Renata!" Panggilan seorang perempuan sontak membuat gue menoleh mencari asal suara itu. Gue sedikit terjingkat kaget begitu melihat seorang perempuan cantik yang tengah berdiri tak jauh dari gue.
"Hai, Kak! Ketemu lagi kita," sapanya yang kini sudah berdiri tepat di depan gue.
Gue tersenyum ramah padanya. "April. Ngapain di sini?"
April tersenyum lalu menoleh menatap kafe di seberang sana. "Mau ngobrol sama gue sebentar, Kak?" tanyanya.
Gue tersenyum lalu ikut beralih menatap kafe yang tadi ditatap April. "Tentu."
April ikut tersenyum lalu segera mengajak gue untuk menuju kafe di seberang sana.
"Pesan dulu aja, Pril, biar ngobrolnya lebih leluasa," seru gue yang dia jawab dengan anggukan.
Akhirnya April pergi untuk memesan makanan. Gue dan April hanya memesan minum karena nyatanya saat ini perut gue belum merasa lapar, April juga.
Gue menyeruput segelas minuman dengan nikmat. Gue memang tengah kehausan sejak tadi karena baru saja keluar kelas. Teringat sesuatu, gue langsung menatap April yang tengah asyik menyeruput minumnya juga.
"April." Gue memanggil yang membuat dia mendongak menatap gue tanpa menghentikan aktivitas minumnya. Dia hanya mengangkat kedua alisnya seolah memerintah gue untuk melanjutkan pembicaraan.
"Gue udah tau kalo Kak Juna sama Devin kakak beradik," seru gue yang kini sukses membuat April terdiam. Dia menatap gue dengan pandangan tak percaya.
"Termasuk fakta kalau mereka saudara tiri?" tanya April dan gue mengangguk mengiyakan.
Terlihat April menghela napas lalu meletakkan minumannya di atas meja. "Gue tau, lambat laun juga Kak Renata pasti tau tentang fakta ini."
Gue menutup mata sambil tersenyum. "Lo gak kaget gue kenal Devin?" tanya gue lalu mulai membuka mata kembali untuk menunggu jawaban April.
April menggeleng pelan. "Gue bahkan udah tau lo sebelum pertemuan kita dengan Kak Juna waktu itu."
Jawaban April sukses membuat gue melotot tak percaya. Pantas waktu itu April menatap gue dengan pandangan aneh dan tak percaya. Jadi, dia sudah mengenal gue? Sejak kapan? Dia tahu gue dari mana coba?
"Kak Juna sering cerita tentang gue ke lo, ya?" tanya gue mencoba menebak.
April menggeleng yang membuat gue sukses menatap dia bingung. Kalau bukan Kak Juna, siapa coba? Tak mungkin--
"Kak Devin." Ucapannya sukses membuat gue terlonjak kembali. Baru saja gue mau menolak kemungkinan itu, namun nyatanya, ternyata kemungkinan itu benar adanya.
"Lo pasti bingung, kan Kak kenapa Kak Devin sering cerita tentang lo ke gue?" tanyanya yang semakin membuat gue bingung. "Dia sayang sama lo, Kak."
Gue tersenyum tipis mendengar ucapan April. "Sayang? Gue udah sering denger hal itu, tapi nyatanya itu gak pernah terjadi. Devin gak pernah punya rasa ke gue lebih dari sekedar sahabat."
Miris, itu yang gue rasakan saat ini.
April menggeleng. "Nggak, Kak Natt. Gue serius! Dia sayang sama lo!" jawab April terlihat menggebu-gebu.
April menghela napas pelan sebelum melanjutkan bicaranya. "Mau tau cerita tentang Kak Devin?"
Gue bingung. Haruskah gue mengiyakan? Atau gue harus tolak saja? Namun jauh di lubuk hati, gue merasa penasaran juga. Siapa tahu ini ada hubungannya dengan gue.
Tapi, apa gue sanggup setelah mendengar ceritanya? Apa gue akan tetap pada pendirian gue saat ini?
"Kak Devin." Suara April kembali memecah lamunan gue. "Gue ketemu dia satu tahun lalu, saat Tante Riska menikah dengan Om Hans, Papanya Kak Juna," seru April. Sepertinya walaupun gue menolak untuk mendengar cerita April tentang Devin, April tetap akan menceritakannya.
"Gue kan kebetulan sekolah di sini ikut sama Om Hans. Orang tua gue tinggal di luar kota," seru April lagi yang gue jawab dengan anggukan pelan.
"Lo tinggal serumah sama bokapnya Kak Juna?" tanya gue seolah ikut penasaran juga tentang cerita dari April.
April mengangguk. "Iya, gue tinggal serumah sama Om Hans," jawab April. "Dan entah kenapa, saat pertama kali ketemu Kak Devin, gue langsung bisa akrab sama dia." April terkekeh pelan. "Aneh. Padahal gue butuh beberapa bulan biar bisa akrab sama Kak Juna. Tapi, sama Kak Devin, cuma satu hari."
Gue ikut terkekeh pelan karena pernah merasakan apa yang dirasakan April juga. April benar, gue dulu juga bisa langsung akrab dengan Devin dalam waktu hitungan jam. Ini serius! Gue akrab dengan Devin sewaktu acara ospek kampus. Adin yang notabene-nya teman SMA gue waktu itu mengenalkan gue ke Devin. Dan begitu Devin mengenal gue, kita itu seolah teman yang sudah lama tak pernah saling bertemu.
"Terus? Devin cerita apa tentang gue ke elo?" tanya gue penasaran.
April tersenyum. "Gak banyak sih," jawabnya. "Dia cuma bilang, dia kenal cewek di kampus, namanya Renata Keyla. Dan dia unik, hobinya makan donat. Pantes pipinya gembul," jelas April yang membuat gue langsung tertawa.
"Terus terus?" tanya gue lagi tak urung memperlihatkan senyum penasaran.
April mendongak ke atas seolah menerawang. "Gue tanya mana orangnya dan dia langsung nunjukin foto Kak Renata ke gue. Dan gue akui, Kakak emang cantik. Kak Devin gak salah nilai Kak Natt cantik waktu itu," jujur April yang sukses membuat pipi gue merona malu.
"Gue sama dia sempat buat perjanjian," celetuk April yang membuat gue menatapnya penasaran.
"Perjanjian apa?"
April terkekeh pelan. "Dia bilang, kalo dia berhasil dapetin Kak Natt, dia bakal pamer pakai daster nyokapnya di depan gue dan dia rela gue posting fotonya yang tengah berpakaian seperti itu di sosmed!"
Gue otomatis tertawa mendengar perjanjian konyol itu. Perjanjian apa ini? Konyol sekali.
"Lo serius?" tanya gue di sela tawa.
"Gue serius, Kak!" jawab April sembari berusaha menahan tawa juga. "Waktu itu dia bilang dia bakal cukup sulit buat dapetin lo. Makanya dia bikin perjanjian konyol itu."
"Sulitnya?"