Gue berjalan ke dalam kelas sambil sesekali terkekeh sendiri mengingat pembicaraan dengan Yuna semalam. Gila! Ini gila! Kenapa bisa jadi serumit ini masalah gue? Haha, ternyata jalan hidup gue benar-benar cocok untuk ditertawakan.
“Mau gue bantu?”
Gue mendelik. “Bantu apa?”
“Bantu lo buat dapetin Devin!”
Gue melotot. Jelas saja gue langsung melotot setelah mendengar ucapan yang Yuna lontarkan barusan. Gila! Apa Yuna baru saja menawarkan kekasihnya ke gue?
“Natt, mau nggak?” tanya Yuna lagi. “Gue tau kalian dari dulu saling menyukai, kan?”
Gue membisu. Apa Yuna selama ini sudah tahu? Kalau dia tahu, kenapa dia tak pernah menegur gue?
“Naattt... Lo—”
“Lo gila!” pekik gue menyela ucapan Yuna.
“Eh? Kenapa jadi gue yang gila?” tanya Yuna dengan raut wajah bingungnya.
Gue mendesah keras lalu menatap Yuna kembali. “Ya lo gila! Bisa-bisanya lo nawarin pacar lo sendiri buat deket sama gue. Apa itu gak bisa dikatakan gila!”
Kali ini, terlihat raut wajah Yuna yang menunjukkan keterkejutan.
Gue bingung. Kenapa dia harus terkejut seperti itu? Gue benar, kan? Apa yang gue katakan barusan itu benar, kan?
Gue yang masih di ambang kebingungan dikejutkan dengan suara tawa Yuna yang makin lama makin terdengar keras.
Gue mendelik aneh menatapnya. Ada yang lucu kah? Gue kan dari tadi tak melontarkan lawakan padanya, kenapa dia tertawa seperti itu? Bahkan sekarang dia benar-benar tertawa hingga terpingkal-pingkal.
Aneh!
“Yuna! Kenapa sih, kenapa malah ketawa?” tanya gue sambil memandangnya dengan tatapan aneh.
Yuna yang masih tertawa langsung menegakkan tubuhnya sambil sesekali menyeka air mata yang keluar akibat dirinya yang tertawa berlebihan.
“Gue pacaran sama Devin?” tanyanya di sela tawa itu sambil menunjuk dirinya sendiri.
Gue memicingkan mata. Kenapa dia harus bertanya tentang itu coba? Bukankah jawabannya itu ada di dalam dirinya sendiri?
“Natt! Lo pikir gue pacaran sama Devin?” tanya Yuna lagi.
Gue mendelik sebentar ke arahnya karena merasa kesal pada Yuna yang terus saja mempertanyakan hal itu. Kenapa juga dia harus bertanya ke gue, kan?
“Gue gak pernah pacaran sama Devin, Natt! Astaga...."
Ucapan Yuna kini sontak membuat gue melotot tak percaya. Apa-apaan ini? Yuna tidak pacaran dengan Devin?
Lalu, apa maksud Devin waktu di rumah Yuna itu? Bukankah waktu itu Devin secara terang-terangan mengungkapkan perasaannya ke Yuna? Jadi, mana yang benar?
“Lo serius gak pacaran sama Devin?” tanya gue memastikan.
Yuna langsung mengangguk antusias sambil menahan tawanya. “Iya, gue gak pacaran sama Devin,” jawabnya yakin. “Kenapa lo bisa berpikiran kayak gitu, sih! Kenapa? Karna gue sering bareng-bareng terus sama Devin, iya?”
Gue menggeleng pelan sambil mengerjap tak percaya.
“Yuna.”
“Apa?”
“Waktu itu... jadi, maksud gue, waktu itu....”
“Apa sih?” tanya Yuna tak sabaran.
Gue menepuk kedua pipi pelan berusaha untuk menyadarkan lamunan.
“Waktu itu gue gak sengaja liat Devin lagi nyatain perasaannya ke elo.”
“Kapan?” tanya Yuna sambil memicingkan mata. “Gak pernah, ah."
“Pernah, Yuna," seru gue yakin. “Dia nyatainnya waktu di rumah lo. Sewaktu Devin menghilang itu.”
Yuna berusaha mengingat kembali. Selang beberapa detik kemudian, Yuna langsung tertawa kembali, bahkan sekarang dia tertawa sambil gelimpungan ke sana-kemari di atas kasur.
Gue mendesis sebal sambil mengguncang tubuh Yuna dengan kesal.
“Yuna!” Gue berteriak. “Jelasin ke gue sebenernya ada apa?!”
Yuna langsung bangkit sambil berusaha menghentikan tawanya, dia pun berpindah duduk di depan gue.
“Lo ada di sana waktu itu? Kok gue gak tau?” tanya Yuna sambil sesekali menahan tawanya.
Gue mengangguk. “Iya, gue ke rumah lo waktu itu. Jelas aja lo gak tau, orang gue langsung pergi pas denger Devin bilang suka sama lo!” dengus gue, membuat Yuna langsung tertawa kembali.
Gue baru sadar, ternyata gue punya sahabat yang hobi tertawa seperti orang gila.
“Gini gini,” serunya sambil duduk menegak dan sontak membuat gue jadi ikut duduk menegak juga.
Terlihat wajahnya yang mulai menatap gue dengan serius. Gue pun jadi ikut memandangnya dengan serius juga.
“Bentar, gue mau ketawa dulu,” serunya dan malah kembali melanjutkan tawanya.
Gue langsung melotot sebal ke arah Yuna. Gue sudah serius juga dia-nya malah tertawa lagi. Gimana gue nggak merasa kesal coba?