Renata Keyla

Fiha Ainun
Chapter #29

SUGGESTION

Gue menghempaskan pantat ke atas kasur begitu selesai mandi. Gue lirik ponsel yang menyala yang berada di atas nakas itu. Akhirnya gue meraih ponsel itu dan mulai membaca sebuah pesan yang baru saja masuk dari Devin.

Devino Xavier

Di mana?

Gue pun mulai mengetikkan pesan balasan untuk Devin.

Di rumah.

Iya, gue tau lo di rumah

Maksud gue, lo lagi di mana? Di kamar lo?

Keluar, gih. Gue ada di ruang tamu rumah lo nih.

Eh! Sontak gue langsung berdiri setelah melihat pesan balasan dari Devin. Devin ada di rumah gue? Mau apa dia?!

Akhirnya gue langsung bergegas turun ke bawah untuk mengecek apakah benar Devin ada di rumah gue. Dan gue berhasil melotot tak percaya begitu melihat Devin yang benar-benar ada di rumah gue. Oke, ini memang masih belum terlalu malam. Tapi, kenapa Devin nggak mengabari dulu kalau mau ke sini?

Gue pun melangkah hendak menghampiri Devin. Namun sialnya, bahu gue tanpa sengaja bertubrukan dengan bahu Mama yang mau masuk ke kamarnya. Gue meringis. Sial! Apa Mama bakal marah ke gue?

Akhirnya, gue lirik Mama yang berdiri tepat di sebelah gue. Dan ternyata, setelah dia menatap ke gue dengan tatapan tajamnya, dia langsung melesat pergi masuk ke kamar.

Gue menghembuskan napas pelan. Heh... Apa–apaan? Kenapa gue bisa berpikir kalau Mama bakal marah ke gue? Cih! Itu takkan pernah terjadi! Kenapa? Gue harus ingat kalau dia itu jijik bicara sama gue, secara gue kan bukan anak kandungnya.

“Kenapa?” tanya Devin ketika gue baru saja menghempaskan pantat ke atas sofa. Mungkin dia bertanya seperti itu karena melihat raut wajah gue yang ditekuk seperti ini.

Gue hanya menggeleng sambil mengerucutkan bibir.

“Tadi siapa? Nyokap lo?” tanya Devin. Dia tentunya sudah berpapasan dengan Mama karena kebetulan Mama baru pulang ke rumah tadi.

Gue mengangguk pelan. “Cantik?” tanya gue.

Devin mengangguk. “Cantik. Tapi gue gak tertarik.”

“Kenapa?” tanya gue sambil tersenyum geli menatapnya.

“Kan dia udah punya bokap lo. Lagian, gue lebih tertarik sama anaknya.”

“Siapa? Kak Sica?” tanya gue sambil memicingkan mata.

“Ya elo lah!” serunya sambil menyentil kening gue. “Kan yang pacar gue itu elo. Kalau gue tertariknya sama Kak Sica, berarti yang harus jadi pacar gue, ya Kak Sica.”

Gue mencebikkan bibir pelan. “Gue kan bukan anaknya.”

“Ya tetap aja, kan satu ayah.”

Gue hanya mendegus pelan mendengar ucapan Devin. “Kok lo bisa di sini?” tanya gue lebih memilih untuk mengganti topik lain.

“Bisa lah. Kan gue punya kaki.”

“Ih!” bentak gue sambil meninju lengan kekarnya itu. “Maksud gue bukan gitu!”

Devin terkekeh pelan. “Terus?”

“Maksud gue, lo ngapain ada di sini? Ngapain coba malem–malem ke rumah gue?”

Devin mendengus pelan. “Perlu ya gue jawab pertanyaan itu?” tanyanya yang gue balas dengan mengeryit tak mengerti. “Coba deh lo pikir, seorang cowok dateng malem-malem ke rumah pacarnya itu mau ngapain coba? Gak mungkin mau minta makan, kan?”

Gue mencibir pelan. “Ya siapa tau lo emang bener mau minta makan?”

“Ya udah! Sekalian aja lo buka prasmanan di depan rumah lo tuh, biar tiap dateng gue langsung minta makan!” seru Devin sambil mendengus kesal.

Gue terkekeh geli melihat Devin yang terlihat mulai kesal. “Btw, tadi siapa yang bukain pintu, gak mungkin Mama, kan?”

“Kak Sica,” jawab Devin singkat. Oke, kalau Devin jawab sesingkat itu, Fix! Devin benar-benar marah ke gue.

Lihat selengkapnya