Renata Keyla

Fiha Ainun
Chapter #30

A FORMER LOVER

Gue melangkah menuju kampus dengan lesu. Ahh... gue benar-benar masih memikirkan kejadian kemarin. Kok bisa gue seberani itu ke Mama, ya? Gue rasa, setan di tubuh gue kemarin itu menghilang semua, makanya gue bisa seberani itu.

Ahh... gue hanya bisa mengacak rambut dengan frustasi. Tapi setelah ini, gue harus bersikap seperti apa ke mama coba? Bahkan tadi pagi pun, gue tak berani melihat wajahnya.

"Dor!"

Gue langsung berjingkat kaget begitu suara seseorang benar-benar mengejutkan gue.

"Ih Devin! Gue kaget!" bentak gue sambil melotot garang ke arahnya, sementara yang ditatap hanya cengengesan sambil menunjukkan deretan giginya.

"Maaf maaf," serunya sambil mengelus pelan pipi gue.

Gue mencebik kesal dan segera berjalan meninggalkan dia.

"Maaf tadi gak jemput," serunya sambil berjalan di samping gue. Dan seperti biasa, Devin menepatkan lengannya itu untuk merangkul bahu gue.

Gue hanya berdeham menjawab pertanyaan Devin.

"Lo gak nanya kenapa gue gak jemput lo?" tanyanya sambil memicingkan mata.

"Nggak," jawab gue enteng.

"Kok gitu? Lo gak penasaran gue berangkat sama siapa tadi?"

Gue hanya memutar bola mata malas. "Palingan juga berangkat sama Adin, kalau nggak Adin, ya Dio. Lo mana berani jemput cewek selain gue."

"Kata siapa? Kalau gue berangkat ke kampus sama cewek lain, gimana?" tanya dia dengan tatapan menantang.

Gue menoleh sebentar ke arah Devin. "Silahkan! Kalau besoknya lo pengen liat cewek itu mati!"

Devin langsung tertawa mendengar jawaban gue. "Lo mau bunuh cewek lain yang deket sama gue?"

Gue mencebikkan bibir pelan. "Kan gue gak bilang gue yang bakal bunuh!" Gue mendengus. "Bisa aja, kan dia mati karna kesetrum, atau tersambar petir, mungkin!"

"hush! Jangan nyumpahin orang kayak gitu!" sarkas Devin.

Sontak gue langsung melotot ke arahnya. "Jadi bener lo tadi berangkat bareng cewek?!"

Devin melotot sebentar lalu kembali terkekeh. "Iya! Gue berangkat sama cewek tadi. Dia-"

Bugh!

Gue langsung memukuli badan Devin dengan tas. Berani sekali dia mengantar cewek lain sementara gue yang notabene-nya adalah pacarnya harus naik taksi tadi. Berengsek!

"Udah! Udah, Natt!" pekik Devin sambil meraih tas gue agar gue tak memukulnya lagi.

"Brengsek!" Gue berteriak tepat di depan wajahnya, lalu segera melengos pergi.

"Natt! Tungguin!" teriak Devin sambil menyusul gue. Mau gue melangkah seberapa cepat pun, nyatanya langkah gue langsung tersusul oleh langkah lebar dari kaki Devin yang panjang itu.

"Hei! Dengerin dulu, ah!" serunya sambil meraih tangan gue.

"Jangan pegang gue!" seru gue sambil menepis tangan yang tadi dipegangnya.

"Natt! Gue emang tadi berangkat sama cewek. Dia-"

"Lo bener-bener brengsek, ya!" sarkas gue.

"Dia April, Natt! April! Lo gak lupa ingatan, kan tentang April?"

Jlep!

Gue membisu. Sumpah! Gue malu. Ahh! Kenapa Devin nggak bilang sedari tadi sih! Lihat, kan? Gue jadi salah paham. Dan sialnya, gue juga jadi merasa malu saat ini. Gue yakin, pipi gue kini sukses merona karena malu.

Devin terkekeh geli melihat gue yang kini mulai berjalan normal kembali. Akhirnya dia kini kembali memposisikan tangannya untuk merangkul bahu gue.

"Udah gak marah lagi?" tanyanya yang membuat gue langsung menggigit bibir menahan malu. Gue buru-buru memalingkan wajah supaya Devin tak melihat wajah gue yang mungkin sudah semerah tomat.

"Lo percaya, kan sama gue?" tanyanya lagi.

Lihat selengkapnya