Aku suka malam. Menjelajahi hutan dengan ringkih berloncatan. Ranting patah, suara kaki dan air hujan yang silih berganti. Tak ada bulan yang bisa menerangi jalan yang lengang. Kau berkuasa, menembus pepohonan, semak belukar, bunga liar dan sebuah iringan panjang.
Nata terbangun dini hari. Naik turun dadanya dan napasnya mendengus kencang. Masih tengah malam yang pekat. Nata menyeka keringat di pelipisnya. Selalu saja seperti itu, keringatnya bercampur rindu dan dendam. Ia bermimpi buruk.
Benarkan, Bu. Tuhan masih menyayangiku. Lirihnya sambil terus mengusap keringatnya. Ia juga tak perlu menuntut keluhuran agar bisa makan seperti orang-orang lain, ia hanya butuh doa dan bekerja.
Kenapa ibunya tidak mampir di mimpinya yang tenang. Ia sadar, Ibu hanya butuh doa dari seorang anak yang sholeha. Jangankan sholeha, Nata merasa ia sangat jauh dari kata perempuan baik-baik. Bukankah perasaannya terlampau berlebihan. Tapi hal itu terus saja ia pikirkan.
Bagaimana keadaanmu, Bu? Baikkah kau di sana? Aku akan jadi baik, baik seperti yang Tuhan inginkan. Nata menangis, airmatanya mengalir pelan sekali. Dari ruang itu tak ada cahaya selain bias-bias cahaya lampu jalan yang masuk melalui celah-celah atap. Tak ada penerangan memang, karena lampu pinjaman dari tetangga sudah dimatikan.
Arlojinya bersinar. Tangannya mengenggam benda itu. Arloji pemberian Lukas, anak majikan ibunya di Singapura. Lukas yang tersayang, ia mengingat lelaki muda itu.
Awal mula pertemuan mereka adalah ketika ia berkesempatan berangkat ke Singapura, naik dengan perahu motor dan menemui ibunya di sana. Mulanya ia benar-benar tak betah namun kepulangan lelaki muda itu begitu menggodanya.
Bermain-main sepeda diwaktu senja, makan berdua, memberi makan anjing, berlatih badminton, menguras bak mandi kerap mereka lakukan bersama. Orang tua Lukas luar biasa sibuk. Dan malam itu mereka kelelahan sehabis bermain di halaman. Paginya ibu Nata marah besar. Nata dan Lukas bangun dari tidur mereka yang tak beraturan. Saat itulah ibu menangis tersedu-sedu.
“Bu, aku tidak melakukan apa yang ibu tuduhkan. Kami bermain di halaman. Setelah itu kami bermain playstation bersama, lihat!” tangannya menunjuk televisi yang masih menyala. Tapi ibu tak percaya, tamparan mengenai muka anak gadisnya.
Nata tak membantah dan ia harus kembali ke Batam, meminta bantuan kawan untuk mencarikan ia pekerjaan. Naluri perempuannya datang dan pergi sesuka hati. Ia juga tidak menampik pernah memeluk lelaki itu di halaman. Nata gelisah dan hanya mendesah saat semuanya ia ingat.
Setelah tidur hampir tiga jam, Nata terjaga. Suara corong di surau belakang terdengar begitu kencang. Dilihatnya wanita tua itu tengah memasang mukena dan kucing belang menggeliat di ujung kakinya.
“Selepas dari Surau, Mak ke pasar. Jangan ke mana-mana kalau kau takut.”
“Ke pasar lagi?”