Renata

Cikie
Chapter #1

Siapa Namaku

Tengah malam, dari tikungan jalan hingga ke atas jembatan besar, seorang perempuan melintas dengan langkah yang cepat seperti truk yang oleng. Ia berhenti tepat di sisi kiri jembatan. Kaki kanannya naik ke atas palang penghalang jembatan. Ada gelang kaki yang bergemerincing. Berwarna keperakan.  Angin bertiup  kencang, menerpa tengkuknya hingga rok setinggi lututnya juga ikut berkibar.

Di bawah jembatan, aliran air terdengar begitu jelas di telinganya. Begitu syahdu hingga memunculkan ingatan-ingatan yang berbeda. Di lain tempat bunyi hentakan meja terdengar silih berganti dengan suara tawa dan batu-batu yang beradu. Pun suara musik yang terdengar sayup-sayup, entah itu berasal dari bangunan yang berdempetan dengan pemukiman warga. Satu menit kemudian sebuah kendaraan minibus lewat. Perempuan itu  mengamatinya sebentar dan kemudian menengadah melihat

langit yang tertutup awan. Perempuan itu tersenyum kecut. Riasan di wajahnya menandakan ia sudah begitu lelah.

Ia tidak takut akan ada yang menyergapnya dari belakang. perempuan secantik itu berjalan sendirian di jalan saat tengah malam. Lenggoknya seperti ingin membuat laki-laki tak mengalihkan tatapan. Tapi ia terlihat baik-baik saja dan tidak peduli pada apapun juga.

Dari atas jembatan perempuan itu melihat dari kejauhan,  bola-bola bercahaya dan lampu berwarna-warni. Tas yang disandang perempuan itu hampir jatuh karena mengamati cahaya tadi. Kedua kakinya kembali berdiri. Ia muntah. Angin sudah menggelitiki dadanya yang berkeringat. Buru-buru ia menuruni jembatan, merapatkan tangan, melintas di tepi jembatan dengan langkah tak seimbang.

Ketika jembatan sudah berada di belakangnya, ia turun ke tepian sungai. Ke arah jalan kecil yang berada di sepanjang sisi bawah jembatan. Beberapa meter darinya, di bawah lampu yang lebih redup di bawah jembatan, sekelompok lelaki tengah minum kopi dan bermain kartu. Dari sanalah suara-suara tadi ia dengar. Perempuan itu memandang ke segala arah, dan melihat sebuah rumah papan berdiri di pinggiran tanpa penerangan.

Ia melangkah menuju tempat itu, memalingkan wajah agar tidak terlihat oleh siapapun. Dari sebuah rumah papan yang sepi itu ia menemukan bangku panjang yang berada tepat di  dinding luarnya. Bangku itu berderit ketika diduduki. Ia mengangkat kepalanya. Matanya pun masih enggan terpejam. Ada bayang-bayang kenangan yang timbul tenggelam dalam pikirannya meski ia mencoba untuk tidur.

***

Perempuan itu merapatkan tubuhnya kembali di tepi bangku. Ia mendengar suara adzan subuh yang sayup-sayup terdengar dari arah yang jauh, namun ia masih mengantuk, ia meringkuk dan melipat tangannya ke dada dan menggumam pelan.

Paginya, saat matahari benar-benar menari di ujung kakinya yang telanjang. Ia terjaga dan punggung tangannya basah. Ia terperanjat dengan jilatan seekor kucing belang yang manis. Ia mengibaskan tangan untuk mengusir binatang itu dan seketika mengambil tas dan memeriksanya. Pagi itu ia merasa seperti keluar dari terowongan yang panjang dan ia berharap lebih cepat meluncur dalam pikirannya yang tidak menentu. “Rasa-rasanya aku sudah mati.” Ia bicara sendiri dan bangkit mengamati bangku yang ia tiduri semalam.

“Kau dah bangun, Nak?”

Ia menoleh dan melihat seorang wanita tua di belakangnya. Dengan rasa keterkejutan dan malu ia berdiri dan meminta maaf. Ia langkahkan kakinya keluar dari tempat itu tapi wanita tua itu cepat memanggilnya dan menawarinya sarapan. Wanita tua itu menyebut dirinya dengan nama Makaram, menyodorkan sepiring makanan ke atas bangku. Perempuan muda itu menjadi tak nyaman.

Lihat selengkapnya