Bukankah ibunya juga pernah menjahit? Saat Nata kecil, Nata kerap berlarian dan memanjat pohon rambutan hingga jahitan baju atau celananya lepas. Lalu ibunya dengan cekatan melakukan hal yang sama seperti yang Makaram lakukan. Nata kemudian bergegas ke belakang, melihat ada baskom air satu-satunya yang ada. Dan terbayang olehnya bagaimana air bersih sebanyak satu baskom itu susah untuk didapatkan. Orang-orang bisa saja mandi di tepian sungai siak. Tetapi bagi Nata, itu tidak mungkin dilakukannya, orang-orang akan tahu dia siapa dan memperhatikan dirinya.
Ketika mandi, dengan rambut yang begitu lebatnya dan dengan segala lelah yang menempel berhari-harian. Ia berjongkok menciduk air meski ia ingin sekali berendam saat itu juga. Gayung berwarna biru lusuh itu robek di bagian tepinya. Ia menengadah ke atas, tak ada atap yang menutup langit-langit. Ia lega, setidaknya hari ini punya tempat untuk melepas lelah.
Nata kembali ke bilik kecil, berganti pakaian yang ada dalam tas yang ia bawa ke mana-mana. Hal tersebut mengingatkannya pada sebuah malam di Batam. Dengan punggung terbuka ia bersandar di lemari kayu. Ibunya bicara dengan penuh amarah dan membuatnya hendak melompat keluar jendela. Kain-kain berserakan di luar lemari.
Saat itu Nata pulang larut malam dan hampir dini hari. Ia dan beberapa temannya berkumpul dan merayakan ulang tahun salah seorang temannya di klub malam. Hatinya sangat sedih dan berusaha menghiburnya dengan irama musik yang hingar bingar. Ia bersalah, tapi ia yakin punya dua alasan hingga melanggar aturan ibunya.
Pertama, bapaknya yang pirang itu tak pernah lagi datang meskipun ia tahu ibunya selalu merindukan pria itu. Kedua, ibunya terlanjur jadi budak orang dan membuat semua orang menganggap ia adalah sampah. Bahwa ia dan keluarganya tak berguna. Lingkungan telah mencapnya seperti itu. Renata sadar dan ia sesenggukan malam itu. Lecutan ikat pinggang mengenai kulitnya, perih di punggungnya bertambah saat angin subuh menusuk lewat jendela yang terbuka.
“Aku hanya ingin bersenang-senang, Bu. Mereka teman-temanku” kilahnya saat itu.
“Kesenangan bukan dari tempat seperti itu! Kau mau jadi pelacur? Tahu apa mereka sebagai teman? Apa dia peduli saat kita kelaparan?”
“Ah, Ibu yang…” Ia tak meneruskan kata-katanya itu, takut tamparan mampir lagi di pipinya. Ibu melemparkan sehelai baju kurung padanya. Nata tahu maksud sang ibu yang ingin menjodohkannya pada orang yang tidak ia kenal. Ia tentu saja ingin menggagalkan hal tersebut.
“Nata!”
Wanita tua itu memanggilnya. Secara tak langsung, Nata menyadari kekeliruannya yang melamunkan masa lalu. Ia ingin sekali mengubur kenangan itu agar ia tidak lagi bersedih hati. Ia keluar rumah, dilihatnya kendaraan yang lalu lalang di atas jembatan. Beberapa perahu yang menepi mengeluarkan barang. Ia jadi ingat cerita ikan panggang yang sudah bersih dari sisik serta duri, mengalirkan lemak, nyata. Kepalanya bergaram, ekornya bercuka dan sayur-sayuran di sekelilingnya kecuali bawang kunci. Dan Nampak pula lima roti yang masing-masing di bubuhi buah zaitun, madu, samin, keju dan dendeng.
Hidangan itu bukan dari versi dunia atau akhirat, namun hidangan itu diciptakan Tuhan dengan kodrat ketinggianNya. Tuhan menolongnya sedemikian rupa, meski ia tahu tidak banyak kebaikan penuh yang ia lakukan.
Tuhan Pengasih dan Penyayang, bukan? Cerita yang Nata dengar dari seorang ustad itu, pernah mampir di panti asuhan tempatnya bekerja. Ia berdehem dan kembali mengamati sungai. Sungai yang dalam, bisa membuat orang tenggelam.