"Buka bajunya, cepat. Akan kuhamili gadis sombong ini!"
Samar Rengganis mendengar tawa dari delapan orang pria yang berdiri dan menyeringai melampiaskan nafsu birahi mereka.
Rengganis hanya merintih, menahan perih dan sakit yang datang dari sekujur tubuh. Sungguh, suci diri dan kecantikan wajahnya kini seperti tiada arti.
Di atasnya, bergantian mereka menikmati kemolekannya. Mulus kulit yang merah muda bak porselen tak pernah tersentuh noda, indah tubuh yang terbentuk sempurna. Kini terbaring tiada daya, sakit yang tadi menyiksa, kini tak lagi ia rasa.
Mati rasa. Seluruh tubuhnya tak lagi menerima rangsangan apa-apa.
"Tinggalkan dia, biarkan binatang buas memangsanya."
Segerombolan pemuda yang menaruh sakit hati lantaran pernah ditolak oleh Rengganis itu melangkah pergi. Meninggalkan tubuh kotor berlumur air mani itu tergeletak di tepi sungai jauh dari pemukiman.
Rengganis tak lagi menangis. Air matanya mengering, perih kini hinggap langsung di sudut kalbu. Bukan hanya tubuhnya yang kotor, kesuciannya pun telah direnggut paksa. Hilang seolah tiada arti juga harga.
Malang sungguh nasib gadis yang dulu selalu tersenyum manis.
Lalu bagaimana bisa belasan pemuda merasa sakit hati terhadapnya?
Padahal ia adalah gadis ramah yang sikapnya lembut disukai banyak orang.
***
"Rengganis, ikut ke pasar?" Fitri menghampiri Rengganis yang tengah sibuk merapikan rambut panjangnya yang hitam. Berkilau indah terlebih saat sinar mentari jatuh di atasnya.
"Kau pergilah lebih dulu, Fit. Aku masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Rengganis tersenyum manis kepada sahabat baiknya itu.
"Sungguh cantik sahabatku ini. Wajah berkilau, tubuh molek dengan kulit merah muda, lihat rambutmu itu, selembut sutra. Lalu ...."
"Fitri." Rengganis menghentikan ucapan gadis hitam manis itu, ia tahu arah pembicaraan Fitri akan ke mana.
Namun, Fitri memang suka menggodanya. "Kapan kau akan menikah?" sambungnya diiringi seringai mengejek.
"Aku menikah setelah melihatmu menikah," sahut Rengganis sambil mengikat rambutnya.
"Faktanya, kau yang lebih sering dilamar. Sepertinya aku yang akan mendapat jodoh setelah kau menikah." Fitri duduk bersandar seraya menatap mata bulat sahabatnya.
"Kenapa kau berpikir begitu?" Lembut Rengganis bertanya.
"Karena para pemuda dari kampung ini, tetangga kampung, tetangga dari kampung tetangga, dan seterusnya ... mereka masih bergantian mengejarmu. Kalau kau sudah menikah, maka aku yakin, semua gadis di kampung ini akan habis."