Rengganis

Dari Dee
Chapter #2

2. Tangis yang tak Basah

Riuh berisik berita tentang Rengganis yang tersebar di desa. Semua orang menangis dan berduka untuk gadis malang itu. Tidak ada yang menyangka, tragedi seburuk itu menimpa gadis yang selama ini mereka kenal menawan dalam bersikap. Semua orang terluka, semua berduka, ingin segera menangkap para pelaku yang tidak mereka kenali.

Lima hari sudah kejadian pilu itu berlalu. Rengganis masih terbaring lemah di Rumah Sakit besar di pusat Kota Jakarta. Para pelaku tak kunjung tertangkap. Polisi mendatangi alamat Arya sesuai identitas yang diberikan saat berkunjung di Ciptagelar. Namun, hanya ada orang tuanya yang tak tahu ia di mana. Teman-temannya yang lain tak terlacak, karena hanya satu identitas yang diminta oleh pengurus penginapan saat itu.

Mang Ujang merasa bersalah dengan apa yang menimpa Rengganis. Pria paruh baya itu mencari keberadaan Arya dan teman-temannya dengan membawa amarah di lubuk hati. Ia marah kepada diri sendiri, mengapa malam itu begitu bodoh melepaskan Rengganis seorang diri.

Matahari tak dapat ditolak sinarnya, angin pun tak dapat dicegah sejuknya. Begitu pula suratan takdir yang sudah ditulis untuk manusia. Malam itu tetap akan terjadi, karena sudah menjadi jalan yang ditentukan Allah untuk hidup seorang Rengganis.

"Rengganis, bangunlah." Fitri tak beranjak dari rumah sakit, lima hari ia menemani gadis itu.

Koma. Begitu kata dokter. Tentu saja, bukan hanya satu orang biadab yang menodainya. Tubuhnya bahkan penuh dengan lebam saat ditemukan pagi itu.

Siapa pun pasti mengira ia sudah tak bernyawa. Kaku, dingin, dan pucat. Namun, seberat apa pun ujian, Allah masih ingin melihat Rengganis hidup. Berjuang bangkit dari sakit.

"Ayolah, bangun. Kau tahu aku tidak akan beranjak dari sini, Rengganis." Air mata Fitri mengalir membentuk pola tak beraturan di kedua pipi. "Kau bodoh. Kenapa pergi seorang diri? Sejak kapan kau tidak mendengarkan kata hatimu, huh?" Fitri mengguncang tubuh Rengganis. Ia marah sekaligus terluka. Sahabat yang bersamanya sejak kecil, kini tak berdaya di hadapannya.

"Banyak wartawan di halaman." Seorang perawat masuk dengan sebuah dokumen laporan di tangannya. Setiap satu jam sekali mereka akan melihat kondisi Rengganis.

"Mau apa mereka?" tanya Fitri seraya mengusap lembut air matanya.

"Mereka mau meliput kasus ini. Rengganis. Beritanya ada di mana-mana."

Mendengar hal itu, Fitri langsung menyalakan televisi. "Orang-orang tak punya hati," umpatnya. Ia geram. Pasalnya, mereka sudah mengejar berita tentang Rengganis sejak tiga hari yang lalu.

"Begitulah. Mereka tidak akan pergi tanpa berita," ucap perawat itu tenang.

"Berita yang mereka kejar itu adalah kemalangan seseorang." Fitri mematikan televisi dan melempar remot dengan kesal.

"Kita tidak bisa menyalahkan pekerjaan mereka. Sebenarnya, ada untungnya juga jika kasus ini masuk media. Peluang untuk menangkap pelaku lebih besar lagi." Bukan hanya Fitri yang berduka, para perawat dan tim dokter pun turut terluka melihat kondisi gadis itu saat tiba. Sebagian dari mereka bahkan memohon untuk digantikan oleh temannya. Tidak ada yang sanggup melihat tubuh itu membiru karena sisa-sisa pukulan. Juga luka di beberapa bagian tubuh membuat tim medis berulang kali menghapus air mata mereka. Semua orang merasa heran melihat tubuh Rengganis masih bertahan setelah apa yang dialaminya.

Fitri terdiam sampai perawat itu pergi. Apa pun alasannya, ia tidak ingin sahabatnya mendapati berita tersebut saat siuman nanti.

"Malang sekali nasibmu, Rengganis. Kau orang yang baik, kenapa binatang-binatang itu tega memperlakukanmu seperti ini?" lirih Fitri.

Rengganis kehilangan kedua orang tua saat terjadi bencana longsor di Sukabumi beberapa tahun silam. Saat itu ia sedang berada di Bandung, dan ketika kembali, banyak kerabatnya telah tiada. Kini ia sendiri dan harus menghadapi apa pun seorang diri pula.

Pukul sembilan malam. Fitri baru saja tertidur di sofa saat samar-samar ia mendengar sahabatnya merintih. Cepat ia membuka mata dan mendapati Rengganis sudah terjaga. Ditekannya tombol darurat yang terletak di dekat ranjang Rengganis untuk memanggil bantuan.

Tak lama kemudian, tiga orang perawat dan seorang dokter datang.

Fitri kehabisan kata. Ia mundur menutup wajah dengan kedua tangan. "Apa yang harus aku katakan kepadamu nanti?" lirihnya seraya menahan isak yang membengkak di dada.

Dada Rengganis tampak naik turun, matanya merah, kedua tangannya mengepal. Tubuhnya menegang kala mengingat apa yang terjadi malam itu. Semuanya muncul bukan dalam bentuk potongan, melainkan utuh sepanjang kejadian. Di balik alat bantu pernapasan, mulutnya berusaha untuk terbuka, ia ingin berteriak. Namun, suaranya seperti tertahan. Sesaat kemudian tubuhnya mengejang dan ia kembali kehilangan kesadaran.

Fitri menepi ke sudut ruangan. Tubuhnya terduduk dan gemetar hebat. Ia dapat membayangkan bagaimana takut dan sakitnya Rengganis malam itu.

"Ini bukan hukuman untukmu, sebab kau adalah orang terbaik yang pernah aku temui. Kuatlah, Rengganis, kumohon."

Sungguh, Tuhan tidak pernah menghukum hamba-Nya. Jika ada kepahitan, itulah ujian. Jika tangis datang, itulah ujian. Jika kesulitan menyapa, itu masih ujian. Sebab Dia tahu. Hanya beberapa orang saja yang mampu melewati berat ujian yang diberikan.

Dia ... hanya memberi balasan atas amalan yang manusia lakukan.

***

"Bagaimana, Mang?" Fitri bertanya kepada Mang Ujang yang telah kehilangan beberapa kilo berat badan. Lelaki itu merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Rengganis, sehingga tidak memiliki selera makan dan tidak tidur barang satu menit pun.

"Masih belum ada kabar."

Lihat selengkapnya