Brak!
Dokter Ardi mendobrak pintu tepat sebelum Rengganis melekatkan tajam kaca di nadinya.
"Kalau kau ingin mati, aku tidak akan tidur di rumah sakit selama berhari-hari hanya untuk menunggu kau sadarkan diri." Dokter Ardi mengeluarkan Rengganis dari kamar mandi dengan paksa.
Tubuh Rengganis menegang, gadis itu mencoba untuk melawan. Dari tangannya mengalir darah akibat pecahan kaca yang sempat mengenainya tadi.
"Lepaskan!" Teriakan Rengganis menggema di kamar rawatnya.
"Kemari. Lihatlah ...." Dengan kasar Dokter Ardi mengangkat tubuh Rengganis menuju jendela. "Lihat di bawah sana. Mereka semua adalah orang-orang yang peduli kepadamu. Mereka ingin kau kembali hidup ...."
"Aku sudah tidak punya kehidupan!" Rengganis berteriak melawan ucapan pria 34 tahun itu. Dadanya naik-turun sebab menahan sesak.
"Benarkah? Kau ingin mati? Jangan di sini, kau akan membuat semua orang sulit. Lihat temanmu itu ...." Dokter Ardi mengarahkan telunjuknya kepada Fitri. " ... dia hanya tidur beberapa jam setiap hari, dia menangis menunggu kau membuka mata. Adakah itu berarti untukmu?"
Rengganis terdiam. Tangannya mengepal kuat, dadanya bergemuruh menahan segala perasaan yang tak mampu dimaknai dengan benar. Hanya satu yang pasti, ada luka yang tak tampak di hatinya. Luka yang entah bila akan pulih.
Dokter Ardi melihat ke arah darah yang menetes dari tangan Rengganis, rasa iba muncul di hati pria itu. "Kemarilah," ucapnya seraya membimbing gadis itu menuju ranjang.
Sejak awal Rengganis datang, Dokter Ardi tidak terlelap dengan tenang. Ia bahkan tidak pulang ke rumah. Ada luka yang tak diketahui oleh orang lain ketika melihat kondisi Rengganis yang mengenaskan hari itu.
Bahkan, setetes bening jatuh saat ia membersihkan tubuh gadis itu. Janjinya, tidak akan pulang sebelum sang pasien benar-benar kembali pulih.
"Bunuh diri bukan solusi untuk semua rasa sakitmu. Kau hanya akan menyusahkan orang lain nantinya." Dokter Ardi mendesah pelan seraya menatap Rengganis. "Jika sakit itu terlalu berat kau rasa, maka ingatlah, bahwa langit di atas sana tidak akan membelah saat mendung menggelayut berat."
"Mudah untukmu mengatakan itu. Apa kau tahu rasanya menjadi aku?" Rengganis menarik kasar tangannya setelah dibersihkan dan kembali terpasang infus.
"Bukan hanya kau yang menderita di muka bumi ini," ucap Dokter Ardi tegas. Pria itu tahu betul bagaimana cara menghadapi seseorang yang putus asa.
"Jika ukuran menderita adalah soal materi dan kesulitan hidup. Maka, jangan pernah bandingkan itu dengan apa yang aku alami saat ini. Kau tahu? Aku sudah mengalami semua kesulitan itu."
"Kau mungkin sudah mengalami semua jenis penderitaan. Tapi, apa kau pernah menderita karena kehilangan orang yang kau sayangi?"
Rona wajah Rengganis menegang, ia merasa pria dengan jas putih itu sedang menantangnya. "Bagaimana caramu kehilangan? Apa kau kehilangan mereka di saat bersamaan? Apa kau menyaksikan tubuh mereka kaku di bawah lumpur dan reruntuhan? Apa kau mencium aroma busuk dari tubuh mereka yang berhari-hari tak ditemukan? Katakan kepadaku, bagaimana caramu kehilangan?" Mata besar Rengganis menatap Dokter Ardi marah. Ia merasa orang asing yang berdiri di hadapannya itu terlalu lancang memaksanya menerima kondisi diri saat ini. Menghakimi.
Tangan Dokter Ardi mengepal kuat, menimbulkan semu putih pada buku jarinya. "Beban moral sebagai dokter bukan hanya kesembuhan fisik pasien, kami juga dituntut untuk mengatasi jiwa putus asa sepertimu. Tapi, kau bukan hanya putus asa. Kau mengumpulkan semua penderitaan dan membandingkannya dengan orang lain ...."
"Hey ...!" Rengganis berteriak keras hingga membuat Dokter Ardi dan Fitri tersentak kaget. "Kau yang membuka semua perbandingan itu. Kau tahu? Caramu mengatasi pasien terlalu lancang dan kasar." Rengganis tertawa mencemooh.
"Dengar ... kalau kau memutuskan untuk bunuh diri, pastikan dulu tidak ada orang yang akan kaubuat menderita setelahnya. Karena menyaksikan kematian seseorang yang kau sayangi, tidaklah sama sakitnya dengan kehilangan yang lain." Ardi berbalik menatap Fitri seraya berujar, "Pastikan dia minum obat dan istirahat. Jangan biarkan dia turun dari ranjang atau aku akan memberinya obat penenang."
Fitri mengangguk cepat. Ia merasakan ketegangan saat dokter itu bicara.
Rengganis mendengkus kesal saat Dokter Ardi berjalan keluar meninggalkannya bersama Fitri.
"Hei ...." Fitri mendekat ragu. Ia tahu, setelah semua yang terjadi, kondisi mereka tak akan sama. Rengganis akan membangun tembok tinggi untuk membatasi diri dari semua orang.
Kedua mata Rengganis kembali basah saat tatapnya bertemu dengan Fitri. Dadanya kembali bergejolak mengingat malam itu.
Menyadari hal itu, dengan cepat Fitri melangkah mendekat. "Jangan menangis lagi. Aku memang tidak tahu apa yang kau rasakan saat ini. Tapi, aku juga terluka cukup besar. Aku melihat tubuhmu di sana, sampai detik ini masih melekat tak memudar dari ingatanku. Jadi, kumohon, Rengganis ... berhenti menangis." Erat ia memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Aku tidak pernah berniat menyakiti mereka, Fit." Tangis Rengganis pecah di pelukan sahabatnya. "Sentuhan mereka masih terasa bergerak di seluruh tubuhku. Aku jijik," ucapnya lirih.
"Mereka akan mendapatkan hukuman setimpal, tenangkan dirimu. Kita akan kejar keadilan untukmu."
Lama keduanya berpelukan, hingga senja menampakkan jingganya yang memesona. Hangat mentari masuk menembus kaca bening ruang rawat Rengganis, menyelimuti dan membuatnya sedikit tenang.
Jika lidah saja masih bisa tergigit tanpa sengaja, kaki juga tersandung saat berjalan. Maka, bukan tidak mungkin, ujian turun seperti batu besar yang menimpa diri. Berat.
Sejatinya, Allah memberi gelap agar manusia dapat memahami waktu. Lalu terang, agar manusia menghargai masa.
***
Rengganis berlari menuju kegelapan, tubuhnya berkeringat, basah merata sekujur tubuh. Ia berteriak sekuat tenaga, tapi tak mengeluarkan suara. Tubuhnya gemetar saat belasan pria mendekat dengan seringai menjijikkan. Tangan mereka masing-masing memegang sebuah ranting kecil yang tampak berduri.
"Kaupikir kemolekan itu akan abadi, huh?"
Mata Rengganis menatap pemuda yang ia tahu itu adalah Arya. Perlahan ia mundur, tapi percuma. Mereka berdiri mengelilinginya.
"Kemari kau." Pemuda yang tak ia kenal merengkuh tubuh rampingnya. Kuat. Hingga sulit untuk meronta.
"Bagaimana kalau wajah cantik itu hancur? Bagaimana jika tubuh yang tampak sempurna itu dipenuhi bekas luka? Akankah ada lelaki yang masih mau melihat ke arahmu?"
Mereka semua mendekat dengan satu tangan terangkat ke udara. Sedetik kemudian, seorang pemuda yang ia kenal bernama Galih --satu dari sekian banyak lelaki yang pernah melamarnya-- memukul wajahnya kuat. Rasa perih menjalar bersama dengan darah yang mengalir perlahan melalui pipinya.
Belum hilang sakit itu, pemuda lain memukul tubuhnya tak kalah kuat.
Tubuh Rengganis menegang, ia merintih dalam kebisuan. Tak lama berselang ia mulai mengejang dengan tangan mengepal kuat.
"Rengganis ... Rengganis ...!"