"Kemana kau akan lari, Rengganis? Aroma kotor di tubuhmu tidak akan hilang."
Rengganis berdiri menatap satu per satu wajah pria yang mengelilinginya. Kali ini mereka memegang pisau yang berkilauan ditimpa sinar rembulan.
"Kau lebih kotor dari apa pun, kau busuk mengalahkan bangkai."
Rengganis bergeming. Tangannya mengepal kuat, ia sedang berusaha melawan ketakutan yang muncul. Kakinya tak sedikit pun bergerak. Ia memilih berdiri menantang mereka semua.
"Kau sudah hancur, Rengganis. Debu bahkan lebih bersih dari dirimu, aroma parit lebih harum daripada tubuhmu."
Seorang pria mendekat dan mengarahkan ujung pisau ke wajahnya. "Wajah ini tak lagi menarik. Aku hanya melihat seorang wanita hina di sini," ucap pria itu seraya menempelkan ujung pisau ke wajah Rengganis.
"Larilah, Rengganis. Lari sejauh mungkin, cepat lari!" Pria lainnya turut mendekat. Tanga kasar itu menyentuh pipi Rengganis. "Kau tak lagi ada harganya. Siapa lagi pria yang menginginkanmu?"
Rengganis tetap bergeming. Matanya menantang mereka semua. "Aku tidak takut pada kalian."
"Benarkah?" Pria bertubuh tinggi dan tegap berjalan mendekat. Rengganis tidak mengenali wajah itu. "Bagaimana jika begini?" Tangannya bergerak menyentuh pundak Rengganis.
Sekuat tenaga Rengganis menampar wajah pria itu, hingga menimbulkan bunyi yang menyakitkan. Membekas merah di wajah kasar lelaki bermata bak elang kelaparan itu.
Dengan marah lelaki itu mencengkeram leher Rengganis. "Akan kubuat kau menyesali setiap detik waktu dan setiap embusan napasmu," ucapnya.
Rengganis meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. Sekuat tenaga, tapi percuma. Ia kalah oleh kekar tangan berotot.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang?" teriak pria lainnya.
Semakin kuat tangan besar itu mencekiknya, semakin kuat pula Rengganis meronta. Hingga ia mulai kehabisan napas dan mulai menegang.
"Rengganis ... Rengganis ... kembalilah."
Rengganis terbangun mendengar suara Nazwa memanggil. "Hah ...!" Ia terengah dengan keringat mengalir di wajahnya yang merah.
"Kau hebat, Rengganis. Mulai sekarang, lawan semua mimpi itu. Jangan takut untuk menantang hingga mimpi itu terbunuh." Nazwa memberinya segelas air putih.
"Apa yang kaulakukan terhadapku?" tanya Rengganis dengan suara parau. Perlahan ia menyentuh leher dan merasakan sesuatu masih ada di sana.
"Aku tidak melakukan apa-apa, hanya membantu keberanian keluar dari dalam dirimu." Nazwa tersenyum seraya menuliskan hasil terapi gadis itu.
Rengganis berdiri dan berjalan menuju jendela. Fisiknya sudah pulih. Namun, kondisi psikis-nya masih butuh disembuhkan. "Kenapa mereka masih berdiri di sana?" tanyanya ketika melihat sekumpulan wartawan di bawah.
"Lima belas hari dan mereka masih belum mendapatkan keterangan selain dari dokter dan pihak kepolisian. Mereka tidak akan pergi sebelum sang korban bicara," ucap Nazwa dengan napas tertahan. Kembali, kejadian beberapa tahun silam muncul di ingatan. Ketika para wartawan menguasai halaman rumahnya, menunggu hampir dua bulan untuk mendapatkan keterangan dari seluruh keluarganya.
Rengganis mendesah berat. Ia bersandar di kaca seraya menatap jauh ke bawa. "Hidup memang tanda tanya. Malangnya, tidak akan ada yang mampu menemukan jawaban atas apa pun."
Nazwa berjalan mendekati Rengganis. "Hidup memang tanda tanya. Hanya bagi mereka yang tidak meyakini takdir-Nya. Bukankah seburuk apa pun, Dia tetap menjanjikan kebaikan? Apa lagi yang perlu kita pertanyakan?"
Rengganis menatap Nazwa sekilas. Gadis yang berdiri di hadapannya, sempurna. Di desa, mungkin dirinya adalah satu-satunya bunga yang menarik kumbang untuk hinggap. Namun, di luar masih banyak keindahan lainnya.
"Apa rencanamu setelah ini?" Nazwa menatap pasiennya itu dengan lembut. Ia tahu Rengganis adalah gadis kuat. Seperti karang, butuh jutaan kali bagi ombak untuk mengikisnya.
"Rencana apa?"
"Kondisimu sudah membaik. Apa yang akan kaulakukan saat kembali ke desa?"
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia tidak memiliki keberanian untuk kembali ke desa itu. Rasa malu membuatnya takut. Ia tahu, warga desa tidak akan memandangnya buruk. Namun, ada banyak pemuda yang pernah ditolaknya, mereka pasti akan tertawa dan mengejek.
"Ada apa?" Nazwa menatap gadis itu heran.
"Nazwa, em ... boleh aku bertanya?" Rengganis meremas kuat ibu jarinya.
"Tentu saja. Ada apa?"
Ragu Rengganis menatap gadis berkerudung merah muda itu.
"Jangan takut, tanyakan saja." Nazwa mengusap lengan Rengganis lembut.
"Apa menurutmu aku harus kembali ke desa?" Ia menatap Nazwa dengan mata berkaca-kaca.
Nazwa menghela napas yang terasa berat. Ia ragu untuk berpendapat, tapi bagaimana juga, pendapatnyalah yang paling dibutuhkan oleh Rengganis saat ini. "Sebelum aku memberi saran, jawab dulu pertanyaanku ini ... apa kau ingin kembali?"
Rengganis terduduk di lantai, ia menangis dan menggeleng. "Aku tidak akan sanggup kembali lagi ke sana, Nazwa. Tempat itu ... terlalu kelam bagiku." Pecah. Rengganis meraung meratapi nasib dirinya.
Nazwa memeluk tubuh Rengganis yang semakin kurus, didekapnya erat agar gadis itu merasa tenang. "Maka, jangan kembali. Mulai hidup baru, aku yakin kau membutuhkan suasana baru," bisik Nazwa seraya mengusap air mata Rengganis.