Rengganis berdiri menatap bayangan diri di cermin, lama gadis itu mematung mengamati wajah yang hampir tak ia kenali. Di belakangnya, tiga buah koper besar sudah menunggu. Paspor dan segala macam dokumen tergeletak di ranjang.
"Hidup baru ...," gumamnya seraya menyisir rambut dengan ujung jari.
Tak ada yang berubah. Rambutnya masih panjang, hitam, dan berkilau. Kulitnya masih merona, wajahnya tetap cantik dengan dua mata yang berkilau bak purnama bersinar pada puncak malam.
Bentuk sempurna ciptaan-Nya.
"Are you ready?"
Rengganis terkesiap melihat Nazwa melongok melalui celah pintu. Dilihatnya gadis itu selalu tersenyum, seolah tidak ada duka yang pernah ia rasa.
"Ada apa?" Nazwa masuk dan memastikan kondisi gadis itu.
Rengganis menghela napas, ia tersenyum menatap Nazwa. "Boleh aku bertanya?"
"Ya, silakan," sahut Nazwa seraya duduk di tepi ranjang.
"Kenapa kau memilih Dubai sebagai tempat menetap?" Rengganis berbalik ke arah gadis berkerudung cokelat itu.
"Kupikir karena di sana wanita dihargai."
"Apa bedanya dengan di sini? Bukankah setiap tempat selalu ada penjahat?"
Nazwa tertawa ringan. "Begini. Di Dubai, kejahatan terjadi kebanyakan karena si korban memberi peluang. Pemerintah Dubai sendiri memberikan kenyamanan bagi wanita. Seperti halte khusus, pembatas di kendaraan umum. Peluang untuk seseorang melakukan kejahatan benar-benar diperkecil. Di Indonesia, kendaraan umum bercampur, bahkan di kereta hanya disediakan dua gerbong khusus wanita. Selebihnya, tetap saja berdesakan. Itu adalah satu dari sekian banyak peluang seseorang melakukan kejahatan. Entahlah, aku sendiri merasa tidak nyaman berada di tempat umum. Dubai bukan tempat tanpa maksiat, di sana justru peluang itu lebih besar. Hanya saja, mereka tidak punya waktu untuk memperhatikan satu orang, sebab ada banyak di sekeliling untuk dilihat."
Rengganis sedikit bingung dengan jawaban Nazwa, tapi ia tetap mengangguk dan mencoba untuk memahami.
"Apa yang kaupikirkan?" tanya Nazwa lirih.
"Entahlah ...." Rengganis meremas ujung kemejanya. "Aku hanya bertanya, samakah hidup baru dengan harapan?"
"Hidup baru adalah sebuah permulaan dari akhir yang kau tinggalkan. Harapan adalah keyakinan, bahwa setiap yang terjadi akan membawa kita pada kebaikan. Tidak ada harapan yang bisa mati jika kita masih meyakini, bukan sekadar mimpi."
"Aku takut tidak bisa menjalani hidup seperti dulu lagi," lirih Rengganis dengan kepala menunduk dalam.
Nazwa menggigit bibir bawahnya. "Mau mendengarkan ceritaku?" tanyanya ragu.
Rengganis hanya mengangguk.
"Selama bertahun-tahun aku memikul beratnya perasaan bersalah."
Rengganis mengernyit. Ia menoleh dan mendapati wajah Nazwa memerah. "Kenapa?" tanyanya pelan.
"Melihat apa yang kau alami, membuat bayangan masa lalu kembali ...."
Nazwa bercerita tentang apa yang terjadi malam itu. Di bawah hujan, ia meringkuk ketakutan, menyaksikan sang kakak ipar diseret kasar, dipukul dan dilecehkan. Harusnya ia bisa berlari dan meminta pertolongan. Namun, malam itu perasaan takut membuat tubuhnya kaku, ia hanya mengintip dari balik jendela. Tubuhnya menggigil menyaksikan kejahatan tersebut.
Sejak saat itu, ia merasa membenci diri sendiri. "Apa susahnya berlari dan berteriak meminta pertolongan?" Tangis Nazwa pecah, ia ingat bagaimana tubuh kakak iparnya tergeletak bagaikan sampah.
Rengganis meremas kuat tepian ranjang. Ia tak bisa memberikan komentar apa pun. Nyatanya, kepahitan yang ingin ia hapuskan, dialami pula oleh sosok yang tampak tak memiliki masalah.
"Aku membenci diriku sejak kejadian malam itu. Tidak ada yang tahu kebodohan yang aku lakukan, semua kusimpan sendiri agar tidak dihakimi," ucap Nazwa seraya mengusap air mata dari pipinya.
Rengganis menghela napas berat. Sedikit ia mengerti, bahwa benar apa yang Nazwa katakan. Allah selalu bersikap adil.
"Sudahlah, ayo cepat bersiap. Kita bukan pemilik pesawat dan bandara," canda Nazwa diiringi tawa khas yang ringan --cara paling ampuh menutupi kesedihan.
"Kenapa kau tidak pernah terlihat bersedih?" Kali ini Rengganis menatap Nazwa lekat.
"La Tahzan ... La Tahzan ... jika sekarang kau rasa terluka dan tersakiti, bisa saja suatu hari nanti, kaulah orang yang paling bahagia." Nazwa menepuk pelan punggung tangan Rengganis. "Di mana pun kau hidup, jika keyakinanmu akan Allah mati, maka tidak akan ada kebaikan di dalamnya. Sebaliknya, meski berada di dalam kubangan kotor, jika kau yakin kepada Dia yang memberi hidup, maka kebaikan akan terus mengikuti. Karena bukan di mana kau menetap, melainkan apa yang kau percaya akan terjadi."