"Duhai pawana ... sampaikan salam kepada Dia, katakan bahwa aku ingin kembali."
Gadis dengan pakaian serba hitam itu berjalan di tengah padang pasir. Dahaga tak terasa, pun lelah bukan apa-apa baginya.
Langkahnya tegas melawan bayu yang bertiup kencang, menebarkan butir pasir yang bisa saja menyisipi mata indahnya.
Bukan berani atau tak takut akan kematian. Gadis bertubuh bak biola itu menyadari, bahwa Allah adalah satu-satunya yang pantas untuk dicari.
Tiada tawa tanpa rida-Nya, tiada pula tangis tanpa ujian-Nya.
"Kemanakah aku harus mencari-Mu? Adakah di ujung sana Engkau tengah menunggu?" Lirih gadis berkerudung panjang menjuntai melewati lutut itu berkata.
Tidak ada apa pun di depan sana selain pasir yang masih sama.
Entah sudah berapa kali mentari timbul dan tenggelam, tapi pencariannya tak kunjung membuahkan hasil. Ia tidak berputus asa, ia terus melangkah meski peluh tak lagi keluar karena panasnya surya yang membakar. Dahaga bukan lagi satu-satunya kesulitan.
"Aku akan mencari, sejauh apa pun." Semakin kuat angin menggoyahkan langkah semakin kokoh pula kakinya berdiri.
"Ke mana kau akan pergi, Rengganis?"
Gadis itu menghentikan langkah. Ia menoleh dan mendapati Nazwa tersenyum dengan sebuah cawan di tangan.
"Minumlah, kau pasti lelah."
Rengganis bergeming. Ia tidak ingin merasakan lelah dalam pencarian.
"Ke mana kau akan pergi?" Lagi, gadis yang memiliki senyum manis itu bertanya.
"Mencari Allah ...."
Nazwa tersenyum. Langkahnya ringan mendekati Rengganis. "Untuk apa kau mencari-Nya?"
"Untuk kembali ... untuk meminta setitik saja belas kasih atas diriku."
Nazwa memeluk tubuh gadis itu, ia berbisik, "Allah tak perlu dicari, Dia ada di mana saja kau berdiri. Bukalah hati dan kejarlah hidayah agar kautemukan jati diri."
"Haah ...!" Rengganis terbangun dengan keringat membanjiri tubuh. Tenggorokannya kering, ia merasakan lelah yang luar biasa.
Dilihatnya langit dari balik tirai jendela. Gelap masih menyelimuti Bumi.
Rengganis bersandar di kepala ranjang, tangannya mengusap perut yang kian membesar. Tidak sedikit pun ia membenci kehadiran bayi itu. Dua bulan lagi buah hatinya akan lahir, dan ia akan menjadi seorang ibu.
"Kau adalah bagian dari diriku. Kehadiranmu adalah kebaikan," ucapnya lirih.
Beberapa bulan yang lalu ia sempat terpukul ketika mengetahui kehamilan itu. Beberapa kali kehilangan kesadaran, sehingga harus dirawat inap selama beberapa hari. Namun, dengan seluruh keyakinan, ia menerima kehadiran janin yang tak memiliki dosa di tubuhnya itu.
Rengganis memejamkan mata, ia teringat saat Ardi berulang kali meminta maaf atas kehamilannya.
"Maafkan aku, Rengganis. Seharusnya kau tidak hamil, aku sudah memberimu morning-after pill. Tapi sepertinya obat itu ...." Ardi merasakan lidahnya kelu, pria itu merasa bersalah dengan kehamilan Rengganis. Sebagai dokter, dirinyalah yang paling bertanggung jawab.
Rengganis mendesah berat, ia tidak ingin melempar kesalahan kepada siapa pun. "Jangan meminta maaf. Mungkin ini adalah lembar soal baru yang harus aku selesaikan," ucapnya lirih.
Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melawan kehendak-Nya. Bukankah setiap langkah manusia adalah bagian dari rencana-Nya? Apa pun yang akan ditemui di depan sana bukanlah suatu kebetulan.
Seperti apa yang Nazwa katakan, "Allah memiliki kuasa atas siang dan malam, maka Dia juga yang memegang skenario hidup manusia. Percayalah, tidak ada rencana seindah takdir-Nya."
Obat itu mungkin berhasil bagi sebagian orang, tapi gagal pada Rengganis. Bukan tanpa alasan, Allah ingin menambah ujian untuk wanita itu.
Pagi menjelang, mentari bergerak perlahan menjatuhkan sinarnya di kamar Rengganis. Wanita itu baru saja selesai mandi, dibukanya tirai dan membiarkan tubuhnya menerima hangat surya pagi.
Hari Minggu, ia tidak memiliki rencana apa pun. Fitri bertugas malam, tentu saja gadis itu masih terlelap di kamarnya sekarang.
Rengganis berjalan pelan menuju lemari, di rak paling bawah, ia melihat kado yang diberikan Nazwa sebelum pergi. Sebuah gamis berwarna marun, lengkap dengan kerudung panjang yang akan jatuh hingga ke lutut saat dikenakan.