"Kenapa setiap doaku tidak dikabulkan oleh-Nya? Bukankah Dia maha mendengar dan mengabulkan segala pinta?" Rengganis duduk bersimpuh di atas sajadah. Ia tak tahu tengah berada di mana, sekelilingnya terbentang luas gurun pasir.
Bayu di bawah surya terasa panas. Tak hilang dahaga, tidak pula berkesudahan peluh membasahinya.
"Duhai Engkau sang pemilik semesta. Bukan kesenangan berlimpah yang kupinta, hanya setitik berani untuk berjalan menapaki masa lalu. Lihatlah ke arahku, ulurkan satu jarimu untuk meraihku. Aku di sini dan akan terus menunggu ...."
"Seperti hujan, Rengganis."
Rengganis berbalik menatap kehadiran Nazwa. Gadis berkerudung merah menyala itu berjalan tanpa kesulitan ke arahnya.
"Aku lelah terus meminta, Nazwa!" Rengganis berteriak seraya mendongak menatap langit yang cahayanya menyakitkan netra.
"Seperti rinai. Allah memberikan apa yang kita butuhkan dengan cara perlahan. Setitik ... setitik. Sebab hujan tak selalu deras."
Manusia terkadang lupa. Bahwa doa adalah sebuah permintaan, diberi atau tidak, sungguh tiada hak untuk menuntut-Nya. Sebab Dia yang lebih tahu, terkadang apa yang manusia pinta bukanlah apa yang dibutuhkannya.
"Aku hanya ingin bangkit tanpa rasa takut, Nazwa." Air mata Rengganis menetes membasahi sajadah di bawahnya. Menembus jauh hingga membasahi pasir di sebaliknya.
"Masih seperti hujan. Kita pikir, kita tidak membutuhkan karena kita tidak meminta. Lalu dengan sombong, kita mengutuk setiap tetes yang jatuh dengan keluhan. Padahal, Dia yang paling tahu alasan kenapa diturunkan hujan. Sadarilah bahwa kita hanya manusia, agar tak banyak menuntut dan lebih banyak berpasrah diri, ingatlah ada kewajiban yang perlu kita selesaikan sebelum berani meminta. Berdirilah, Rengganis ... Allah sangat mencintaimu. Mungkin, hanya kau satu-satunya yang sanggup menghadapi ini semua. Percaya dan teruslah berprasangka baik kepada-Nya."
" ... bangunlah, Rengganis. Bangun dan merintihlah kepada-Nya."
Rengganis membuka mata dan mendapati dirinya bermandikan keringat di atas ranjang. "Lagi ...," gumamnya.
Hampir setiap malam, mimpi berada di Padang Pasir membuat Rengganis kelelahan saat terjaga. Peluh membasahi tubuh, dan setiap ucapan Nazwa di dalam mimpi selalu terngiang. Bak lagu yang diputar berulang-ulang. Tak jarang, Rengganis sampai menghafal setiap kata yang gadis itu ucapkan.
Rengganis mengusap wajah dan melihat ke arah jam kecil di meja tepi ranjang. Pukul tiga pagi. "Bangunlah, Rengganis. Bangun dan merintihlah kepada-Nya ...." Rengganis mengulangi apa yang Nazwa ucapkan di dalam mimpinya tadi.
"Bangun dan merintih ... kepada-Nya." Gadis itu beringsut dari ranjang dan segera berwudu. Ia mulai memahami apa makna mimpinya.
Dengan perut yang sudah begitu besar, Rengganis melaksanakan salat malam tanpa beban. Untuk pertama kalinya, setelah kejadian yang telah lama berlalu.
Lama ia menahan sujud dan memanjatka doa yang sama. "Aku tahu betapa hina dan kotor diri ini. Dosaku telah tertanam hingga ke dasar Bumi. Namun, jika masih boleh aku meminta, izinkan aku melangkah tanpa bayang gelap malam itu. Hanya satu ... hanya satu, ya Allah. Hanya satu. Itu saja."
Berulang kali air matanya jatuh menitik bagaikan embun membasahi dedaunan. Ada sesuatu yang terlepas dari dadanya saat salam terakhir terucap. Pilu menghimpit hingga ia menangis tanpa tahu apa sebabnya.
Jika terlalu berat beban dirasa, bukankah ada Dia tempat untuk menitipkan luka? Mengapa harus menutup langkah dari-Nya, jika tahu bahwa hanya Dia yang bisa meruntuhkan segala sakit?
***
"Hei ... kau sudah mengajukan cuti?" Fitri melangkah masuk ke kamar Rengganis yang tampak sudah siap menyambut kehadiran sang bayi. Sebuah box besar berwarna putih terletak di sudut, dan box bulat dengan kain tile melingkar di atasnya, diletakkan di tepi ranjang Rengganis. "Kau benar-benar sudah mempersiapkan segalanya," ucap Fitri pelan.
"Aku sudah cuti sejak dua hari yang lalu. Kau yang tampaknya sibuk dan lupa pulang, Fit." Rengganis menoleh dan menatap gadis itu sekilas. "Kau tidak pernah bercerita perihal hubunganmu dengan Ardi," sambungnya seraya melipat baju-baju bayi yang baru selesai ia cuci.
Fitri tertawa dan berjalan mendekati sahabatnya itu. "Aku dan Ardi hanya sedang mencoba. Kau tahu, tidak mudah menemani lelaki dengan luka masa lalu." Fitri menghela napas berat. "Dia melamarku ... kemarin."
"Benarkah?" Rengganis menjatuhkan pakaian bayi di tangannya. "Apa jawabanmu?"
"Hei ... kenapa matamu berbinar? Aku yang dilamar," seru Fitri dengan tawa yang tertahan.
"Ayolah, apa jawabanmu?" Rengganis mengulangi pertanyaannya.
Fitri tersenyum simpul. "Aku belum memberi jawaban."
"Bodoh! Apa yang ada di otakmu itu?" Sekuat tenaga Rengganis memukul pipi kiri Fitri. Membuat gadis itu mengaduh kesakitan. "Apa yang kurang dari diri Ardi? Dia baik, saleh, pekerja keras, dan mapan. Bukankah itu tipe lelaki idamanmu?"
Fitri memutar bola mata mendengar ucapan sahabatnya itu. "Aku ingin melihatmu menikah dan memiliki seseorang yang akan menemani. Kalau aku menikah, siapa yang akan menjagamu?" Fitri balas memukul pipi Rengganis, pelan.
"Jangan memikirkan aku dan mengabaikan masa depanmu, Fit. Aku akan baik-baik saja."
"Aku tidak akan menikah sampai kau bertemu dengan lelaki yang tepat. Titik. Sekarang bersiaplah, Ardi ingin kita bertemu temannya."
"Kita?"
Fitri berdiri dan mengusap pundak Rengganis pelan. "Iya, kita," ucapnya seraya berlalu meninggalkan kamar sahabatnya itu.