Rengganis

Dari Dee
Chapter #8

8. Arwa Nafeesa

"Haruskah aku menerimanya?" Rengganis duduk di tepi ranjang dengan ponsel ia letakkan di telinga.

"Bagaimana menurutmu?" Dari seberang sana, Nazwa yang selalu dengan senang hati mendengarkan ceritanya, tersenyum menyadari kebimbangan Rengganis. "Kalau kau ingin mencoba, lakukan. Tapi jangan memaksa jika ada rasa tidak nyaman," sambung Nazwa mengingatkan.

Rengganis mendesah, ia melihat ke luar jendela dan menimbang tentang seberapa berat beban masa lalu yang akan dibawanya, jika menerima pendekatan dari Ammar. "Aku hanya takut terbebani. Aku dengan segala kekurangan ini, sementara dia dengan segala kelebihannya."

"Lebih dan kurang diri manusia tidak diukur dari masa lalunya, Rengganis. Ada yang lebih besar dari itu, dan hanya Allah yang memiliki kuasa untuk mengukurnya."

Rengganis terdiam. Seindah apa pun kata penghiburan yang Nazwa ucapkan, baginya tiada berbeda. Ammar laksana besuta --kain sutra yang teramat halus-- dan dirinya hanya secarik kain belacu polos yang tak menarik.

"Kau layak mendapatkan yang terbaik, Rengganis. Percayalah kepada takdir-Nya."

"Aku tidak tahu, Nazwa. Kurasa, cinta tak seindah semburat jingga saat senja."

Nazwa tertawa mendengar ucapan Rengganis. "Jangan rendahkan dirimu seperti itu. Penilaian orang lain tergantung kepada penilaianmu sendiri."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Rengganis dengan nada putus asa.

"Apa kau memiliki harapan atas hidup ini, Rengganis? Setidaknya untuk putrimu."

Rengganis memejamkan mata, mencoba menimbang setiap kemungkinan yang ada. "Kau tahu aku selalu memiliki harapan ... bahkan di tengah mimpi buruk yang coba kau hapus selama ini."

"Kalau begitu, teruslah hidup dengan harapan itu."

Rengganis menutup telepon dan berdiri, pandangannya meninggi menuju langit biru berhias awan putih di atas sana. Di balik jendela kaca, ia tersenyum kepada semesta. Seolah ingin mengatakan, bahwa ia berani mencoba dan tidak takut untuk membuka sayap dan kembali terbang mengitari cakrawala.

Di tengah kebimbangan, Rengganis merasakan sesuatu mengalir di kakinya. "Fit ... Fitri ...!" Rengganis berteriak dari dalam kamar. Rasa mulas tiba-tiba saja menjalar, dan pinggangnya terasa ngilu.

"Ada apa?" Fitri menghampiri sahabatnya yang tampak sedang meringis kesakitan. "Rengganis ... ketubanmu, pecah!"

Rengganis tak menjawab. Ia merasakan kram di perut bagian bawah. Sejak semalam pinggangnya memang sudah terasa panas, tapi karena perkiraan kelahiran masih beberapa hari lagi, ia tidak merasa risau. Namun, siapa sangka, bayi di kandungannya seolah menolak terlalu lama di dalam sana.

Fitri segera menghubungi rumah sakit agar mengirimkan ambulans. "Bertahanlah. Ambulans sebentar lagi akan tiba." Gadis itu bergegas mempersiapkan keperluan Rengganis dan bayinya.

Tak menunggu lama. Ambulans tiba bersama Ardi dan seorang perawat. "Bagaimana?" Pria itu bergegas memeriksa kondisi Rengganis.

"Ketuban sudah kering. Dia harus dioperasi," ucap Fitri yang sejak tadi mencoba menenangkan sahabatnya.

"Sejak kapan dia merasakan mulas?"

"Kemarin ... kemarin," sahut Rengganis dengan napas terengah.

"Dan kau tidak mengatakannya kepadaku?" Fitri membulatkan mata ke arah Rengganis.

"Kupikir hanya mulas biasa. Karena perkiraan kelahiran masih beberapa hari lagi."

"Aku yang bidan dan kau yang merasa lebih tahu dariku?"

"Kita harus segera ke rumah sakit." Ardi memotong perdebatan kedua wanita itu. "Cepat," ucapnya kepada petugas.

Rengganis berusaha sekuat tenaga untuk tidak berteriak meskipun rasa sakit dan panas membuatnya ingin memukul sesuatu. Ia hanya bertahan dengan meremas erat pakaiannya.

Hidup baru sedang menunggu, masa depan yang masih dirahasiakan mulai melambai menyambut Rengganis dan buah hatinya.

Lihat selengkapnya