Ammar tersenyum melihat betapa lucu sepatu merah muda di tangannya. Ia sudah berada di toko itu selama tiga jam. Setiap yang tampak lucu ia beli, tak peduli apakah terpakai atau tidak.
Ada cinta untuk bayi Arwa di hati Ammar. Cinta yang ia tak tahu dari mana datangnya. Bukan karena ingin mendapatkan hati Rengganis, tapi ia benar-benar menyayangi Arwa. Sepenuh hatinya.
"Aku tidak peduli siapa ayahmu. Karena aku siap menjadi lebih dari sekadar ayah untukmu." Ia tersenyum, diraihnya sebuah pita berwarna merah dari pajangan. "Rambutmu tebal, aku akan ikatkan ini di kepalamu," ucapnya seraya melangkah menuju kasir.
"Ini semua belanjaan anda?" Kasir itu tampak tidak percaya.
"Em ... sepertinya hanya aku yang ada di toko ini," ucap Ammar dengan wajah datar.
Tanpa mengatakan apa pun, kasir itu mulai menghitung jumlah pembelian Ammar yang sedikit tidak wajar. "Kartu kredit atau ...."
"Cash!" sahut Ammar sebelum si kasir meneruskan ucapannya.
Ammar melangkah meninggalkan toko dengan wajah merona bahagia. "Apa aku harus memanggilmu Arwa atau Nafeesa?" Sepanjang jalan Ammar bicara seorang diri, tak peduli pada mata yang memandang dan senyum tanya yang melintas dari orang-orang sekelilingnya.
Dari pusat perbelanjaan, Ammar langsung mengemudi menuju apartemen Rengganis. Hatinya benar-benar tak sabar ingin memasangkan pita-pita lucu di kepala Arwa. "Aku yakin kau akan sangat cantik dengan pita yang aku beli."
Mobilnya melesat cepat membelah jalanan di Kota Jakarta. Menembus angin dan melewati kendaraan lain.
"Daddy ... bukan, jangan Daddy. Em ... Abi terdengar lebih sederhana." Pria itu melangkah tegas menyusuri lorong menuju pintu bernomor 071. "Tunggu, Abi terlalu umum. Bagaimana kalau Ayah?" Ammar mengangguk pelan seraya tersenyum, ia merasa puas dengan isi kepalanya sendiri.
Di depan pintu apartemen Rengganis ia berdiri sesaat dan menghela napas. Mempersiapkan diri melihat pujaan hati dan sang bayi yang baru berusia lima belas hari. Ditekannya bel sekali.
"Arwa ... Ayah datang," ucapnya dengan penuh keyakinan.
"Hei ... Ammar." Fitri tercengang melihat barang yang Ammar bawa. "Kau akan membuka toko perlengkapan bayi?" tanyanya tak percaya.
"Ini untuk Arwaku," jawab Ammar seraya melangkah melewati Fitri yang masih mematung. "Hai ...." Langkah Ammar terhenti saat melihat Rengganis sedang makan.
Sama seperti Fitri, Rengganis membulatkan kedua mata saat melihat barang bawaan pria itu. "Apa kau baru saja mengosongkan isi toko?" tanyanya dengan suara serak akibat batuk.
Ammar tak menjawab, ia meletakkan barang-barang itu di sofa dan menatap sekeliling, "Di mana Arwa?" tanyanya.
"Oh ... kau memanggilnya Arwa. Aku baru tahu kau mengalah kepada Nazwa," ucap Rengganis sambil terkekeh.
"Di mana Arwa?" Ammar mengulangi. Ia tampak tidak tertarik dengan lelucon Rengganis.
"Sedang tidur di kamar."
"Aku membelikannya ini dan akan memasangkannya sekarang. Aku ingin memotret dan menjadikannya walpaper di ponsel."
Fitri tersenyum melihat Ammar mengeluarkan pita merah dari kantong belanjanya. Begitu pula Rengganis, ada desir aneh yang coba ia sembunyikan agar tidak disadari oleh Fitri.
"Em, Ammar ...."
"Nanti dulu, aku ingin memasangkan ini." Ammar melangkah cepat ke kamar Rengganis. "Aku benar-benar tak sabar melihatmu memakai pita ... ya Allah!" Ammar berlari keluar kamar dan menatap Rengganis tegang.
"Ada apa?" tanya Rengganis dan Fitri kompak.
"Apa yang kalian lakukan pada kepalanya? Aku masih ingat rambutnya hitam dan tebal beberapa hari yang lalu."
Rengganis terkekeh melihat wajah Ammar yang terlihat konyol.
Pandangan Ammar beralih kepada Fitri, "Fitri, apa yang kalian lakukan pada kepala bayi itu?"
"Kami mencukur rambutnya, Ammar," sahut Fitri dengan tawa tertahan.